Secara akal, susah baginya hidup layak mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Meskipun pernah mendapat BLT dan beasiswa pendidikan anak-anaknya. Masih sangat kurang dari kata "cukup". Alhasil, gali lubang tutup lubang sering ia lakukan.
Sekali lagi, pagi ini Pak Slamet memohon diberi kelonggaran tempo. Melunasi pembelian seragam olahraga bagi anaknya yang duduk di bangku SMP. Aku hanya mampu mengangguk pelan. Pikiranku berputar cepat. Seperti mesin, berusaha mencari cara. Bagaimana cara dapat meringankan beban keluarga muda ini.Â
Banyak Anak Banyak Rejeki?
Kisah Pak Slamet di atas hanyalah sepenggal dari sekian kisah nikah usia muda. Kisah nan melankolis. Di balik kesenangan sesaat. Kisah yang terus berkelindan.
Benarkah nikah usia dini adalah kisah berkelindan? Ada banyak jawabannya. Namun yang pasti, terus menghias media pemberitaan. Bahkan cenderung viral. Mengguncang dunia nyata. Menggoyang dunia maya.
Sebut saja di tahun 2016, dua siswa SMP di Gantarang, Sulsel. Tahun 2017, pasangan ABG di Baturaja, Sumsel. Demikian juga di tahun 2018, dua siswa SMP di Bantaeng, Sulsel. Menghias berbagai lini media. Wujud nyata betapa nikah usia muda marak di negeri kaya segala. Kaya berita. Pingin bukti lagi? Gugling saja. Pasti dijawab oleh sang pakar berita.Â
Nikah usia dini, rentan memperbanyak jumlah penduduk. Rentan memperbanyak jumlah anak. Mengapa? Karena sangat terkait dengan fekunditas.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fekunditas diartikan kemampuan potensial seorang wanita untuk melahirkan anak. Sangat terkait dengan masa subur. Masa yang besar kemungkinannya bagi seorang wanita untuk hamil. Masa yang besar kemungkinannya untuk terjadinya pembuahan.
Banyak anak banyak rejeki. Ah..., yang benar saja. Coba simak kisah nyata di Youtube. Ketik di auto search, Kamu Ingin Punya Banyak Anak? Pikirkan Secara Matang. Bisa juga judul ini, Kisah Perempuan dengan 25 Anak. Yang lebih miris ada juga, Akibat Kemiskinan, Keluarga 12 Jiwa Ini Terpaksa Makan Kulit Singkong.
Peran Dunia PendidikanÂ
Kemajuan teknologi hendaknya digunakan untuk hal positif. Manfaatkan untuk memperluas cakrawala pengetahuan. Demikian juga di dunia pendidikan, fenomena nikah usia dini hendaknya selalu diselipkan. Selalu disampaikan kepada siswa untuk "diluruskan". Selurus-lurusnya.