"Education is the most powerful weapon which you can use to change the world" (Nelson Mandela)
Namanya Slamet. Usianya masih 34 tahun. Di usia masih cukup belia sudah mempunyai tanggung jawab besar. Tanggung jawab yang tidak ringan. Bahkan sangat berat. Harus menghidupi 7 (tujuh) orang anak yang masih kecil-kecil.
Istri dari Pak Slamet juga masih belia. Hanya selisih satu tahun. Tepatnya berumur 33 tahun. Istri satu-satunya. Ibu dari anak-anak yang dilahirkan. Ibu muda yang harus tabah dalam segala keterbatasan. Lebih menjurus kekurangan.
Sepintas tidak ada yang salah. Slamet dan istrinya menikah secara sah. Anak-anak yang mereka lahirkan pun sah. Tidak ada masalah. Semua berjalan sesuai kehendak. Merajut rumah tangga menjalankan fungsi reproduksi. Juga fungsi lainnya.
Masalah dan tanggung jawab besar mulai muncul. Seiring usia anak-anak mereka memasuki usia sekolah. Tidak tanggung-tanggung. Lima anak harus mereka pikirkan biaya pendidikannya. Satu baru duduk di bangku SMA. Satu di bangku SMP. Dua di SD. Satu lagi di TK. Sedang yang dua masih Balita. Ah..., hirup napas dulu dalam-dalam.Â
Slamet, sosok lelaki sehat dan kekar. Istrinya pun demikian meskipun tidak kekar. Mereka menikah di usia muda. Bahkan sangat muda. Sangat di luar dugaan. Mengapa? Sebab Slamet harus menikah saat mantan pacarnya (istrinya) hamil masih kelas akhir di bangku SMP. Ah..., hirup napas lagi.
Pagi ini, lelaki sehat dan kekar ini tak mampu lagi membendung beban yang dipanggulnya. Tubuhnya yang kekar berguncang. Butir-butir air mata menjelma mata air. Mengalir cukup deras. Membuatku terdiam. Mematung. Sesaat.
Pak Slamet begitu aku memanggilnya. Usianya terpaut 12 tahun. Lebih muda dariku. Di usia yang cukup muda kenyang banting tulang.
Demi menghidupi keluarga besarnya, pekerjaan buruh bangunan dilakukannya. Hanya pekerjaan ini yang mampu ia lakukan, mengingat ijazahnya hanya tamatan SMP.
Di depanku Pak Slamet berkisah. Kisah tentang bagaimana susahnya menghidupi keluarga.Â