Pertengahan bulan Oktober. Detak waktu Subuh lebih dini datang. Gelap yang menyelimuti, sontak diramaikan suara Adzan. Memantul dari empat penjuru mata angin. Saling bersahutan.
Seusai dzikir, hening kembali menyergap. Menidurkan mata yang masih berat. Enggan beranjak dari singgasana lelap.
Dari sebuah lorong sempit. Rimbun oleh dedaunan sulur-sulur. Muncul dua sosok perempuan. Sosok yang berjibaku dengan waktu. Ditemani oncor penyibak gelap. Mereka bergegas melangkah. Menuju pasar untuk menjual sayur.
Dua sosok masih menyusuri jalan. Sampai jua di batas perkampungan Krajan. Gelap dan sepi. Belum mampu membangunkan penghuninya.
"Sum...., berhenti sejenak. Kakiku sedikit kaku. Dingin rasanya"
Mbok Sum berhenti. Diliriknya Mbok Ten yang berdiri sejajar di sebelah kanannya.
"Jangan di sini!"
"Kenapa Sum?"
"Di sini dekat kuburan. Lihat di depan itu. Sebelah kiri jembatan, ada kuburan. Sebaiknya lebih masuk lagi ke perkampungan. Di sana ada gardu kamling. Bisa untuk sejenak istirahat"
"Sum, kakiku rasanya tambah kaku. Istirahat sejenak ya...."
Mbok Sum mengalah. Buntalan kain isi ikatan sayur kangkung di atas kepalanya, ia jatuhkan. Sejenak ia kendorkan urat leher. Lantas membantu Mbok Ten menurunkan buntalan isi ikatan sayur.
Dua perempuan itu duduk selonjor. Melepas penat. Menyandar pada batu besar pinggir jalan setapak.
Tak ada lagi suara. Hanya sekedar gerak tangan Mbok Ten. Memijit pergelangan kakinya.
Angin tiba-tiba menderu. Menggasing tak tentu arah. Meliuk-liuk pohon kelapa dibuatnya. Suara cicak bersahutan. Dari arah utara juga selatan.
Tiba-tiba terdengar suara, BLUK!.... dari arah belakang. Mbok Ten spontan menghentikan pijatan di kakinya. Kaget.