Sejak tadi, mata indahmu menatap anjungan kapal yang bersandar di dermaga. Sementara bus pariwisata kita bergerak merapat. Tiba-tiba tanganmu nan lembut dan hangat terasa, membelai pipi kiri yang dingin diterpa angin.
“Maukah Mas menemaniku di anjungan kapal itu?”
Aku masih menatap mata indahmu. Masih kurasakan tangan hangat di pipi. Dan aku tak kuasa menolak, jika dirimu meminta dengan kehangatan yang kau berikan di pipi ini.
“Baiklah…. Tapi ada syarat yang tak boleh kau tolak,” Pintaku berharap. Kulihat kau tersenyum.
Kau dan aku segera beranjak. Meninggalkan sudut kafe dermaga. Meniti jalan menuju kapal. Sorot lampu melukis bayang berdua. Bergandengan seakan tak mau lepas.
****
Perlahan kapal bergerak meninggalkan dermaga. Sesuai pinta, kulangkahkan kaki menuntunmu ke anjungan kapal. Sementara di kejauhan, gulungan awan tebal bergerak liar. Mengikuti angin membawa.
Di sudut anjungan yang sepi, kita berhenti. Aku masih menatap gulungan awan. Ketika kapal bergerak tak terasa ke tengah lautan, debur ombak terasa lebih kencang. Dingin angin laut, memaksa angan meraih lembut tanganmu. Kini, kau dan aku saling berhadapan. Hanya berdua, di sudut anjungan kapal.
“Sesuai pintaku, janganlah kau tolak,”
Dirimu masih terdiam. Tatapan matamu yang menghunjam, membulatkan tekad ini. Menyampaikan apa yang sudah ku pendam. Di lubuk hati terdalam.
“Widya…. Satu yang aku pinta saat ini. Maukah kau menerima cintaku?”
Kau masih terdiam. Tatap matamu terasa lebih liar menghunjam. Dua tanganmu bergerak perlahan. Melepas dua kancing kemeja yang membalut dadaku. Lantas…. Kau rebahkan wajah di dadaku. Aku memelukmu. Erat dan sangat erat.