Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, sesuai dengan ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2021. Kebijakan ini, meski telah disahkan sejak 2021, baru belakangan memicu perdebatan, termasuk di kalangan anggota DPR yang sebelumnya turut menyetujui aturan tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang dianggap sebagai penggerak kebijakan ini, menegaskan bahwa pelaksanaannya adalah amanat undang-undang. Ia menyatakan pentingnya memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat terkait kebijakan tersebut.
Menurut Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), kenaikan tarif PPN dapat memberikan manfaat signifikan, seperti mengurangi ketergantungan terhadap utang negara, menurunkan beban utang, serta menyelaraskan tarif PPN Indonesia dengan rata-rata global sebesar 15 persen. Namun, sejumlah ekonom memperingatkan potensi dampak negatif dari kebijakan ini, terutama terhadap daya beli masyarakat. Dalam rapat dengan DPR pada 14 November 2024, Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebijakan perpajakan, termasuk kenaikan PPN, disusun berdasarkan kondisi saat pandemi COVID-19. Saat itu, kebutuhan anggaran untuk sektor kesehatan dan perlindungan sosial meningkat drastis, menyebabkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kenaikan PPN dianggap sebagai langkah strategis untuk menjaga kesehatan fiskal negara.
Meski demikian, langkah ini menimbulkan risiko besar, terutama karena daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi. Kenaikan PPN berpotensi melemahkan konsumsi domestik yang merupakan pendorong utama perekonomian. Dengan menurunnya daya beli, efek domino dapat terjadi, seperti penurunan omzet pelaku usaha, peningkatan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga melemahnya kontribusi sektor sekunder terhadap penerimaan pajak. Data menunjukkan pekerja informal kini mendominasi tenaga kerja dengan porsi 57,95 persen, sementara pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan sekunder cenderung menurun. Dalam situasi ini, perluasan basis pajak, seperti penerapan pajak kekayaan dan pajak karbon, dapat menjadi alternatif yang lebih efektif untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa terlalu membebani masyarakat.
Kebijakan kenaikan tarif PPN, meskipun mampu memberikan dampak positif bagi stabilitas fiskal, membutuhkan waktu dan perencanaan yang lebih matang. Prioritas utama seharusnya adalah mendorong pemulihan ekonomi secara inklusif, mengurangi ketimpangan, dan memastikan kebijakan perpajakan tidak menekan daya beli masyarakat, yang menjadi fondasi penting bagi keberlanjutan pertumbuhan ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H