Aku;
sesorean ini mengenang perjalanan-perjalanan;
telah kering tinta hitam dari sebuah pena menuliskan catatan-catatan
terasa bahwa sedemikian panjangnya lakon hidup yang telah dilalui
entah ini episode yang ke berapa
sebagaimana kisah di sandiwara dua babak
sang penulis naskah sengaja menciptakan konflik-konflik
agar kisah di panggung kehidupan tidak datar-datar saja
Kau;
malam ini bercerita panjang, pendek, lurus dan berlikunya perjalananmu
cerita tentang noktah-noktah kehidupanmu yang katamu tak lagi suci
aku mendesis, bergumam diam-diam
sengaja kusipatkan kuping agar tak kudengar keluh kesahmu
bukan apa-apa;
dikehidupan yang semakin terjepit ini
sudah sedemikian banyaknya berhamburan kisah kepahitan duka, lara, dan nestapa-nestapa
Â
Kita;
mestikah berhimpun kembali dalam sebuah lakon sandiwara berbabak-babak lagi?
entahlah, aku pun tak yakin mesti mengawali dari mana untuk memulai lagi kisah kita
sementara ruang, waktu dan jembatan penghubung rasa, tidak terpelihara dengan baik
pun, tembang smaradahana yang dulu sering kita nyanyikan di lembah seribu bunga
tidak lebih dari sekadar kisah tentang lagu sunyi yang sumbang
sebagaimana kisah ruang yang termakan waktu, ruang yang pernah kita miliki;
telah menjadi sekat yang tebal dan pekat bagi kita.
sumur serambi sentul, 20 agustus 2020
©arrie boediman la ede
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H