.....
kawan, ini bukan cerita atau kisah kusut dari tong sampah
bukan pula sekadar isapan jempol sang kalabendu pemilik berita
bahwa inipun bukan prediksi-prediksi, bukan pula fakta yang difiksi-fiksikan atau sebaliknya
apalagi membandingkan dengan kisah seribu satu malam dari negeri para peramal yang berkisah tentang sembilan keajaiban para pesohor
bahwa, benar, ini adalah fakta tentang kefiksian seorang lelaki;
: ya, lelaki itu
dia, tak muda lagi;
dia, bukan berasal dari sebuah kaum ataupun perkumpulan sekte-sekte
diapun tak lebih dari sesosok tunggal di alam kata-kata, alam yang lebih sering menenggelamkannya, alam yang menyeretnya kepusaran maha arus yang meleburkan Â
alam yang mengatur lakon kehidupannya
pun, hidupnya bukanlah soal jual beli atau tawar menawar
bukan pula sedang dalam pertarungan untuk menentukan si kalah dan si menang
tapi, tidak lebih dari sekadar bercermin pada sebuah jendela kaca yang nyaris retak
bahwa, ini yang kelimapuluhlima kalinya dia datang, pulang, pergi, dan kembali lagi, di sini
telah beribu-ribu derap langkahnya diperdengarkan di ruang-ruang abadi yang tak abadi
dia, tak pernah berpikir mundur
tak pernah mengawang-uwungkan angan-angannya
sebab baginya perkara dalam hidup adalah fiksi yang tak dipaksakan; yang mengalir sebagaimana air yang jatuh kepelimbahan
sedangkan perkara kematian baginya adalah fakta yang tak terbantahkan
: ya, dia
ada di antara merdeka dan tak merdeka, tak takut di antara ketakutan-ketakutan
yang ditakutinya hanyalah keberanian menjalani sisa hidup dan kebaikan seperti apa yang akan ditinggalkannya;
sebab di jalanan, di panggung, dan dihingarbingarnya kehidupannya adalah bayang-bayang yang nyata
kata jiwanya; dalam berkehidupan, dia adalah hidup; dalam berpuisi, dia adalah puisi; dalam berkhalwat, dia adalah khalwat itu
kerana begitulah caranya menegakkan keyakinannya yang mungkin saja tak pernah diyakini oleh orang-orang disekelilingnya
sebagaimana saat dia menjaga ketetapan hatinya, walau akhirnya sunyi menderanya
dia, bukanlah rendra atau khairil anwar atau gus mus atau buya hamka atau imam ghazali atau penyair-penyair dunia yang lihai dan pandai melukis langit
dia bukan pula si raja tega yang memaksakan kediriannya agar setara dengan khalifah umar bin khattab
bahwa, sebagaimana sastrawan-sastrawan dan khalifah-khalifah di antara budaya atas nama pencitraan-pencitraan
dia, dalam dirinya adalah mahabbah yang mencair terhadap tuhannya, terhadap sesamanya, terhadap bayi-bayi peradaban di-tepi sebuah jaman
yang menegakkan sesuatu yang diyakininya baik; mematahkan sesuatu yang diyakininya tak baik
walaupun akhirnya dia mesti berdiri tegak di antara keyakinan-keyakinan palsu
: ya, dalam gerak dan diamnya
dia tak pernah tahu apa-apa
diapun tak lebih dari seonggok daging yang tak bernama
daging yang merekatkan jalannya pada garis yang panjang, pendek, lengkung, dan terputus-putus, terpatah-patah
garis yang sejatinya senantiasa melekat pada hidup matinya untuk tetap istiqamah berkata-kata apa saja yang dimauinya
sebagaimana yang dipahaminya tentang dirinya, kesadarannya, bahwa sesungguhnya dia bukanlah siapa-siapa; pun, faktanya dia bukan pula seorang penyair garis lurus
begitulah,
.....