Perkembangan pertelevisian Indonesia saat ini terbilang sangat pesat terutama perkembangan televisi swasta yang hadir dan mewarnai persaingan stasiun-stasiun televisi swasta yang ada. Perkembangan ini mulai berlangsung sejak runtuhnya rezim orde baru yang kemudian membuka peluang untuk hadirnya stasiun-stasiun televisi secara bebas. Penyebaran informasi tak lagi dikekang dan televisi tak lagi menjadi corong pemerintah seperti halnya TVRI pada zaman Soeharto. Dengan demikian, televisi secara bebas dapat menayangkan hal-hal apa saya yang memang patut diketahui oleh masyarakat. Televisi dapat dengan bebas dan bertanggung jawab menjalankan fungsinya sebagai media informasi, media hiburan, dan media propaganda.
Namun, tampaknya kebebasan yang ada sekarang ini tak membuat media televisi menunjukkan pertanggungjawabannya dalam usaha mencerdaskan bangsa melalui tayangan-tayangan yang ada. Tayangan tersebut tak lagi diperhatikan segi kualitasnya melainkan lebih cenderung memperhatikan nilai tukarnya; seberapa untung stasiun televisi terkait jika menayangkan program acara tertentu. Inilah kemudian yang menjadi masalah karena dengan demikian, masyarakat tak lagi dianggap sebagai orang-orang yang akan disuguhi tayangan berkualitas dan mendidik tetapi justru masyarakat ditempatkan sebagai objek yang dijual. Mengapa demikian? Hal ini karena bukan hanya tayangan televisi yang dijadikan komoditas tetapi masyarakat pun demikian; masyarakat akan menentukan rating suatu program acara televisi swasta tertentu.
Kenyataan demikian seharusnya menjadikan kita sadar bahwa sebagai penikmat televisi kita patut berpikir kritis. Pemikiran kritis membuat kita bisa memilah mana yang memang layak tonton dan mana yang tidak. Hal ini diperlukan untuk menghindari timbulnya dampak buruk jika kita tidak secara selektif menentukan tontonan televisi yang akan kita konsumsi. Namun demikian, bukan berarti kita harus menjadi apatis terhadap televisi karena di satu sisi televisi memberikan banyak manfaat kepada masyarakat. Untuk itulah, tidak mudah pula mereduksi kelebihan dan dampak positif televisi dan tayangannya hanya karena adanya potensi timbulnya dampak buruk bagi masyarakat. Lebih lanjut, dampak buruk yang ditimbulkan pun tidak seharusnya diabaikan begitu saja karena hal ini akan sangat terkait dengan masa depan masyarakat ketika tayangan-tayangan tidak berkualitas terus mewarnai program pertelevisian swasta. Terlebih ketika segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai jual dijadikan komoditas untuk program acara televisi dan bahkan masyarakat pun menjadi komoditasnya.
Namun di tengah ketatnya persaingan untuk memperoleh keuntungan tersebut, televisi swasta juga tampaknya berjuang mempersembahkan tayangan yang layak tonton dan berkualitas bagi masyarakat. Ini tampak dari program-program acara yang memang sesuai untuk kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh, 24 Maret 2011 lalu digelar kembali KPI Awardsyangmerupakan ajang penghargaan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atas tayangan berkualitas yang bersiar di sepuluh stasiun televisi swasta nasional (RCTI, MNC TV, Global TV, Trans 7, Trans TV, Metro TV, SCTV, Indosiar, ANTV, TV ONE) dan lembaga penyiaran publik (TVRI). Dari acara tersebut, diperoleh beberapa pemenang untuk masing-masing kategori: kategori anak (Trans TV: Kado Putih eisode Merah Putih di Tengah Kebun Teh), kategori sinentron lepas (SCTV: Wagina Bicara), kategori dokumenter (SCTV: Potret episode Anak Baduy Sunat), kateogi berita investigasi (TV One: Telusur episode Emas Melenggang Hingga ke Cina), kategori talkshow (SCTV: Barometer episode Tragedi Mavi Marmara), dan kategori televisi peduli Budaya diperoleh oleh TVRI .
Prestasi stasiun televisi yang berhasil memperoleh penghargaan untuk beberapa kategori di atas layak diberikan apresiasi. Dengan diumumkannya pemenang KPI Awards, masyarakat menjadi terbantu untuk bisa mengenal tayangan-tayangan mana yang berkualitas. Namun, yang masih perlu diingat adalah kualitas tayangan-tayangan lainnya yang belum sesuai dengan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dan Pedoman Perilaku Penyiran dan Standar Program Siaran. Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa masalah televisi bukanlah masalah sepele yang bisa begitu saja diabaikan. Masalah televisi adalah masalah publik yang harusnya mendapatkan perhatian kita. Masalah televisi tak akan terselesaikan jika hanya satu dari sekian pihak yang akan menanganinya. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan kerja sama yang baik dan kesadaran dari masyarakat untuk mengatasinya.
Adapun usaha penanganan masalah ini bisa dilakukan dengan mengajukan keluhan terhadap Komisi Penyiaran yang berfungi mengawasi siaran-siaran televisi. Masyarakat juga dimungkinkan untuk bisa mengikuti program kerja lembaga yang terkait dengan pengembangan kemampuan masyarakat dalam bidang media literasi seperti halnya Remotivi. Selain itu, yang terpenting adalah membangun kesadaran dan tindakan riil untuk mengkritisi setiap tayangan-tayangan televisi yang ada sehingga dengan demikian tak terjadi (lagi) pembodohan masyarakat karena tayangan-tayangan televisi yang tidak berkualitas dan mendidik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H