Saya awali tulisan ini dengan deretan huruf yang membentuk satu kata: KONSUMERISME. Kata yang tak asing lagi terdengar saking sering mendengarnya bahkan kita sudah dan sedang mempraktekkannya. Tak disangka, kata yang terlihat begitu sedernaha namun sangat berbahaya. Mengapa berbahaya? Bagaimana tidak, kata inilah yang merepresentasikan manusia sebagai makhluk yang tak pernah luput dari kebutuhan serta pemenuhannya. Pemenuhan yang terkadang menjadi tumpang tindih karena sebagai subjek, kita tak tahu bahkan sama sekali tak bisa membedakan mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang menjadi keinginan semata. Masalah klasik? Mungkin saja.
Tiga topik di atas tentunya sangat berkaitan satu sama lain. Media menjadi sarana promosi yang paling efektif untuk kemudian memunculkan budaya konsumtif bagi orang yang mengkonsumsi media itu sendiri. Yang paling mengerikan adalah anak muda menjadi sasaran utamanya! Sungguh banyak sekali godaan bagi para muda-mudi! Bagaimana ini?
Ternyata tak mudah menjadi orang muda! Mengapa demikian? Karena hanya sedikit saja orang muda yang sudah melek terhadap apa yang ia konsumsi dan apa yang memang dibutuhkannya. Bukan hanya itu, orang muda bahkan orang-orang tua juga tak bisa mengalahkan suatu kekuatan besar dibalik pola konsumsi yang berlebihan dan memboros. Bagaimana tidak, kapitalisme global telah sangat kuat masuk ke kehidupan kita. Kapitalismelah yang senantiasa menghadirkan produk-produk budaya populer dan menjadikannya seolah-olah penting untuk kita. Namun jika dipikir-pikir, tak juga memiliki nilai fungsiobal apa-apa selain kesenangan semata dan pemenuhan keinginan.
[caption id="attachment_98649" align="alignleft" width="300" caption="Kata Pak Gutomo: "Apa yang Anda beli tidak menunjukkan siapa Anda!" Setuju! :D"]
Pengalaman di atas ternyata sangat lekat dengan budaya konsumtif, bukan? Benar-benar yang muncul adalah persis seperti apa yang dikatakan oleh Marx: false consciousness. Kapitalisme yang ada akan terus berusaha melanggenggkan false consciousness dalam diri setiap orang sebagai objek dapi kapital itu sendiri untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara menyikapinya? Oke, dijelaskan oleh ketiga nara sumber di atas, bahwa hal yang paling mendasar yang perlu dilakukan adalah kita sebagai pribadi memposisikan diri kita sebagai subjek dan bukannya sebagai objek dari kapitalisme yang ada. Dengan demikian, kita mampu menentukan pilihan; mana yang memang perlu atau tidak perlu kita konsumsi. Lebih jauh, mulai dini kita perlu belajar memisahkan antara needs dan wants. Yang terakhir namun terpenting untuk diingat adalah bahwa memerangi konsumerisme membutuhkan aksi, bukan sekedar sumpah! Untuk itu, mari sama-sama kita lakukan perlawan kecil mulai dari diri kita masing-masing!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H