Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 4 - Lima Puluh Satu

22 Oktober 2013   03:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:12 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Lima Puluh Satu

~ Modus Operandi dan Surat Cinta Saduran ~

Sebagai pengagum yang jatuh cinta tetapi tak berani berbuat banyak, Koma hanya bisa mencuri-curi pandang. Dia lebih mirip maling yang ragu-ragu, terus mengintai tapi tak berani segera menyatroni. Jika ada kesempatan berpapasan, sekadar menyapa pun terasa begitu sukarnya. Seolah ada dinding tak kasat mata menghalangi Koma. Dinding keraguan yang begitu tebal. Walau sebenarnya Rindu terbuka. Tapi, Koma terlalu polos untuk seorang pemuda yang sedang mengejar cintanya. Dia terlalu kaku dan pasif.

Supaya tidak dihakimi, keraguan seringkali mengkambinghitamkan saat yang tepat. Kalau hanya menunggu, seringkali si "saat yang tepat" itu tahu bahwa ia sedang ditunggu. Dan, Koma, akhirnya dipermainkan "saat yang tepat". Dan kalau masih terus menunggu peluang. Tunggu saja, peluang akan mempermainkan dia. Memang ini pertama kali dalam hidup Koma, itu sebuah pembenaran untuk ketidakberaniannya.

Sampai pada titik jenuh hanya menunggu, akhirnya Koma menyadari harus bertindak. Sederet rencana yang dia susun tak akan menjadi apa-apa tanpa realisasi. Dia berubah menjadi lebih aktif, dan tiba-tiba saja sibuk melakukan pekerjaan apapun yang dapat menarik perhatian Kyai Mastur. Memang, yang dikejar adalah Rindu, bukan Kyai Mastur. Tapi Koma mulai cerdik, sang kyai adalah salah satu kunci untuk mendapatkan Rindu. Pendekatan cerdas ke titik masuk adalah dengan mendekati sang kyai. Dengan begitu, suatu saat, intervensi sang ayah bisa dijadikan senjata utama untuk serangan balik.

Koma menyelidiki apa saja yang dapat membuat sang kyai senang. Koma berusaha membuat Kyai Mastur menganggap dirinya lebih istimewa dibanding santri lain. Terkesan menjilat, atau apapun itu, tapi sah saja, bagaimanapun ada sejuta cara untuk mendapatkan cinta, selama itu tak bertentangan dengan nurani dan prinsip kebenaran.

Kyai Mastur adalah gerbang masuk, untuk meraih kesempatan mendekati Rindu.Koma pikir, jika Kyai Mastur banyak melibatkan dirinya dalam urusan keluarga sang kyai, itu akan memuluskan pendekatan dengan Rindu. Taktik standar yang cerdik.

Koma menjadi begitu siaga membantu segala kepentingan Kyai Mastur dan keluarga, termasuk membantu Rindu. Apapun yang menyangkut pelayanan kepada keluarga Rindu, Koma begitu sigap, siap sedia. Dalam kurun beberapa bulan, selain Ustadz Nanang, Koma menjadi orang kepercayaan sang kyai. Banyak santri senior iri dan mencap dia penjilat. Koma sama sekali tak peduli, toh cara itu cukup berhasil membuat dia banyak berinteraksi dengan Rindu.

Tinggal beberapa tahap lagi untuk mendapatkan cinta Rindu. Koma tak tahu bagaimana memulainya. Apa seperti yang sudah umum, misalnya melalui bunga? Apa mungkin bunga dapat menyampaikan detail perasaan seseorang, dan lagi, apa Rindu peka? Dia berfikir sederhana, bagaimana jika tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan langsung, "Neng, Akang cinta pada Neng!" tapi dia sangsi, mungkin akan ditertawakan Rindu.

Sempat terlintas untuk melibatkan orang lain, makcomblang, minta bantuan Dirman, misalnya. Tapi Koma juga ragu. Itu terlalu riskan. Mungkin akan ditertawakan bahkan dicibir, "Dasar santri tak tahu diri, anak kyainya mau diembat juga". Koma belum cukup punya keberanian untuk mengungkapkan langsung perasaannya. Dia menyusun rencana lain.

Surat menjadi media perantara komunikasi yang efektif bagi seseorang yang sungkan atau takut bertemu muka. Tapi, dia tak pandai menulis, apalagi merangkai kata untuk sebuah surat cinta. Untuk menuliskan satu paragraf pertama saja dia harus memeras otak. Kata-kata seolah berloncatan, sulit ditangkap dan dilekatkan di atas kertas. Tiga malam berturut-turut Koma belum juga rampung menuliskan ungkapan cintanya dalam surat itu. Berulang kali menulis, merasa salah, dicoret, lalu dibuang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun