TIGA pohon cempedak di belakang rumah tinggal Kyai Mastur sudah berbuah. Ustadz Nanang meminta Koma dan beberapa santri untuk memanennya. Sisi berontak Koma muncul, tapi dia tak mampu berkelit dan menurut saja walau dalam hati ketus. Tak ada ruang di hati Koma untuk rela membiarkan siapa pun di pesantren menyuruhnya, kecuali sang kyai. Bisa saja mengelak dengan mencari-cari alasan logis untuk menolak suruhan Ustadz Nanang, tapi berhubung pohon cempedak itu berada di belakang rumah tinggal sang kyai, Koma bisa patuh dengan ikhlas. Hanya segala sesuatu mengenai Kyai Mastur, dan apa pun yang diperintahkan atas nama Kyai Mastur yang dapat Koma lakukan sepenuh hati.
Terakhir kali naik pohon, ketika Koma masih kecil. Tapi ingatan itu disembunyikan keberuntungan. Koma lupa pernah jatuh dari pohon jambu.
Di atas pohon, sebagian cempedak tampak sudah masak. Sebagian lagi masih muda. Pohon cempedak yang cukup tinggi dan rimbun, akan sulit memanjatnya. Tapi ini akan nikmat, di sana terdapat kesulitan yang didambakan Koma. Atau mungkin juga ada kegagalan.
Seorang santri sudah lebih dulu naik pohon cempedak sebelah Koma. Santri itu berhasil menjatuhkan sebuah cempedak. Koma terpacu untuk menyaingi. Lebih seru, seperti persaingan mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar cempedak, atau lebih seru dari sekadar menuruti perintah Ustadz Nanang atas nama Kyai Mastur.
Instruksi yang didapat Koma dari Ustadz Nanang berbeda dengan instruksi untuk santri lain. Tugas Koma memetik cempedak muda untuk dimasak sebagai sayur oleh Nyai Arum, istri Kyai Mastur. Koma cukup bersemangat, sebab dia akan menyenangkan Nyai Arum, yang berarti juga akan menyenangkan Kyai Mastur.
Satu cempedak muda berhasil dijatuhkan Koma. Koma ingin hasil lebih baik lagi, memetik cempedak muda yang lebih besar. Koma sempat membayangkan begitu nikmatnya sayur cempedak buatan Nyai Arum. Sayur dengan kuah penuh berkah keluarga kyai. Tapi yang paling diinginkan Koma adalah kegagalan, bukan keberkahan, bukan juga sayur buatan Nyai Arum. Tapi untuk sementara, yang terpikirkan Koma adalah adalah bakti pada keluarga sang kyai. Dengan berbakti pada Kyai Mastur, berarti Koma telah berbakti pada Asih, Mak Acem, Bi Tati, Mat Boncel, juga Mehong. Karena Kyai Mastur di mata Koma adalah gabungan dari orang-orang itu.
Di ujung dahan yang menjuntai sebelah kiri, sebuah cempedak muda lebih besar tiga kali lipat besar kepala orang dewasa, seolah melambai-lambai meminta dipetik Koma. Dahan pijakan cukup kuat menahan beban dua orang dewasa. Malang segera mendekat, dan itulah kegagalan yang akan didapatkan. Koma meraih cempedak muda, memelintirkannya agar terlepas dari tangkai. Terlintas senyum Nyai Arum dan sang kyai. Dahan licin akibat semalaman kemarin diguyur hujan. Pijakan kaki tak cukup lekat membuat Koma terpeleset, dan, braakk....!!! Koma terjatuh. Lebih dari lima meter tinggi pohon itu, jarak yang cukup untuk mematahkan tulang.
Seorang santri di bawah pohon yang bertugas menadah cempedak segera menolong Koma. Ustadz Nanang yang mengawasi beringsut dari kursinya. Seorang santri di atas pohon hanya melongo seolah berkata "Oh, si santri aneh itu terjatuh". Tak ada reaksi berlebihan dari beberapa santri yang menolong Koma. Meskipun antipati terhadap Koma tapi di balik itu terselip harapan di hati mereka, semoga tidak parah dan semoga setelah jatuh, si santri intropert itu tak aneh lagi, dan bisa lebih akrab dengan penghuni pesantren lain.
Keberuntungan tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah Koma agar tidak jatuh. Tidak juga dapat menangguhkan waktunya sehingga Koma tidak jatuh hari itu, mungkin besok, atau minggu depan. Keberuntungan juga tak dapat memangkas jarak menjadi pendek supaya jatuhnya lebih ringan, dan akibatnya tak terlalu parah.
Koma jatuh membentur tanah becek berair. Tak ada tulang patah, tak juga ada memar. Koma masih mampu bangkit. Beberapa langkah setelah berdiri, seolah dihantam benda keras, pening terasa di kepala. Koma mengaduh menahan sakit sambil memegangi kepala. Langkahnya terhuyung, tersungkur ke tanah. Badan menggigil, disambut kejang-kejang di sekujur tubuhnya. Lidah tercekat gigi. Busa berhamburan di mulut. Ustadz Nanang dan seorang santri segera memangku Koma ke teras rumah tinggal Kyai Mastur. Saat itulah awal epilepsi yang disembunyikan Koma terkuak, dan segera menyebar ke seluruh pesantren.
Kebetulan lagi, kebetulan yang sering mempertemukan Koma dengan Kyai Mastur. Di saat yang lain sangat langka mendapatkan kesempatan itu, kebetulan sang kyai sedang berada di rumah. Koma dibaringkan di beranda bambu, tempat biasa sang kyai bersantai menikmati waktu luang. Segelas air putih didoakan sang kyai, diminumkan, lalu diusapkan ke ubun-ubun dan wajah Koma. Doa orang saleh yang penuh ketulusan, sumber dari keberkahan dan keberuntungan, lekas terkabul Allah. Kejang-kejang Koma mereda, tapi tubuh masih lemah, dia tak dapat bangkit. Seluruh tubuh tak mampu digerakkan. Koma gagu, suaranya seakan hilang dirampas angin. Sekadar beruluk salam menyapa dan mengucap terimakasih pun tak bisa, apalagi salam takzim dengan mencium tangan sang kyai. Darah Koma serasa membeku, jantung berdegup pelan, sangat pelan, seakan siap berhenti.