Mohon tunggu...
Arra Yusuf
Arra Yusuf Mohon Tunggu... Freelancer - Arra Itsna Yusuf suka jalan-jalan dan nulis suka-suka

Setidaknya, dengan menulis, "Aku menghadirkan diri, meski kau anggap aku mati" (Arra Yusuf)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lubang Nasib

29 Oktober 2014   01:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:22 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lubang Nasib

Arra Itsna Yusuf

Musa terus mencangkul, meski dalam pikirannya, tanah merah basah itu seperti tak membentuk galian sama sekali. Sudah pukul tiga pagi. Beberapa ayam sudah berkokok di kejauhan. Sesosok jasad terselimuti kain sprei terbujur kaku di tanah. Setengah wajah pucat wanita tersingkap di balik kain. Tak jelas rupa diterpa air hujan dan tanah merah yang bercipratan.

“Ayolah... dalamlah...” desis Musa memarahi dirinya sendiri. Tetapi, semakin dalam Musa menggali, seolah cangkulnya semakin tak berfungsi. Sementara peluh dan air hujan terus berebut tempat di wajahnya.

“Arrggh!” pria tiga puluh tahun itu melemparkan cangkul penuh tanah merah basah ke sembarang arah. Napas pada dada bidangnya memburu. Lalu ia membiarkan tubuhnya ambruk ke tanah. Duduk tepekur, membiarkan rambut gondrong sebahunya dihujami garis hujan yang kian rapat.

“Kang...” sesuatu yang dingin menyentuh bahu Musa. Musa tersentak memutar badannya. Mayat itu terduduk, tangannya menyentuh bahu Musa. Wajah mayat wanita itu hampir seputih warna kerudung yang terpasang sembarangan di kepalanya. Mata hampanya menatap mata Musa yang membelalak.

“Akang tega mengubur Neng?” mayat itu benar-benar berbicara kepada Musa. Musa menggeleng-gelengkan kepala lalu bangkit tiba-tiba. Tubuh kekarnya terhuyung, matanya menyipit memastikan wajah pucat di depannya lah yang berbicara.

“Akang pikir, akang bisa mengubur semua masalah setelah mengubur Neng?” mayat wanita itu meneteskan airmata. Wajahnya kaku tanpa ekspresi meski airmata terus berleleran. Mulanya hanya air, lama-lama berubah menjadi darah. Darah yang kental.

Musa terus menggeleng-gelengkan kepalanya, menutup telinganya, “nggak mungkin... nggak mungkin...” lirihnya disamarkan gemuruh di langit. Gemetar kakinya melangkah mundur dari tempatnya berdiri,

“Kang...” mayat itu memanggil namanya lagi.

“Bruk!” tubuh Musa jatuh ke dalam galian segi panjang sedalam dua meter. Tubuhnya terkulai lemas di tanah. Air hujan terus turun tanpa ampun menggenangi lubang.

Satu hari kemudian, tagline sebuah berita di televisi membuat warga kampung Cikuda geger:

“Diduga berselingkuh dengan adik ipar, Rumini (25) tewas di tangan suaminya sendiri. Tragisnya, sang suami, Musa (30) tewas setelah menggali tanah semalaman sebelum sempat mengubur jasad istrinya...”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun