Pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung di Indonesia telah melahirkan ratusan bahkan mungkin ribuan Gubernur maupun Bupati baru. Sebuah mekanisme demokrasi yang disepakati dan dianggap terbaik di alam reformasi ini. Persoalannya apakah pemimpin yang dipilih benar-benar terbaik dan memiliki kemampuan memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan rakyatnya? Atau justru perilaku koruptif-lah yang semakin menenggelamkan, waktulah yang akan menjawab. Saya hanya ingin mengajak kita menengok sepenggal kisah dari seorang pemimpin yang lahir karena tempaan sejak belia.
Sebuah cerita sejarah 550 tahun yang lalu, tepatnya 1450 M dimana seorang panglima besar telah berhasil menaklukan konstantinopel. Ya, dialah Muhammad Alfatih, panglima terbaik dengan pasukan terbaik yang telah menjawab sabda nabi tentang penaklukan kota yang oleh napoleon Bonaparte ditasbihkan menjadi ibukota dunia.
Konstantinopel akan ditakluki oleh pasukan yang rajanya (yang menakluk) adalah sebaik-baik raja dan tenteranya (yang menakluk) adalah sebaik-baik tentera. Demikian sabda rasulullah.
Yang luar biasa Muhammad Alfatih menaklukan Konstantinopel dalam usia 21 tahun. Panglima yang menguasai 6 bahasa ini (turki, yunani, hebrew, arab, persia dan latin) di usia belia telah memiliki kepakaran di bidang ketentaraan, sains dan matematika. Sebuah pribadi yang komplit untuk menjadi pemimpin.
Hal lain yang menjadi kekaguman adalah Alfatih bukanlah sosok pemimpin instan. Yang hadir karena haus akan kekuasaan. Yang bermodalkan harta bisa membeli suara rakyat untuk memilihnya. Dia sosok yang ditempa kepemimpinan dan kedisiplinan sejak belia.
Konon pada saat akan menunaikan sholat jumat timbul pertanyaan, siapa yang layak menjadi imam. Muhammad Alfatih menyampaikan pidato kepada sekitar 6000 pasukannya untuk mencari imam pada sholat jamaah. Diajukanlah 3 pertanyaan, seluruh pasukannya diminta berdiri. Dengan suara lantang Muhammad Alfatih mengajukan pertanyaan pertama, “Wahai pasukanku, siapakah diantara kalian yang sejak akil baligh hingga sekarang sudah pernah meninggalkan sholat fardlu walau sekalipun, maka silahkan duduk?. Istimewa, diantara 6000 pasukan tidak ada satupun anggota pasukan yang duduk. Benar-benar sebuah pasukan pilihan. Terbayang bagaimana sebuah kedisiplinan telah ditanamkan kepada mereka semua sejak kecil.
Kemudian Muhammad Alfatih mengajukan pertanyaan kedua, “Wahai pasukan siapa diantara kalian yang sejak akil baligh hingga saat ini pernah meninggalkan sholat sunnah rawatib?. Baru setelah diajukan pertanyaan ini separoh diantara pasukan duduk. Tinggal separo yang masih berdiri. Artinya ada 3000 pasukan Alfatih yang sejak akil baligh hingga saat itu tidak pernah meninggalkan sholat sunnah rawatib.
Maka, diajukanlah pertanyaan terakhir. Jika ada yang lolos dari pertanyaan ini silahkan menjadi imam sholat ini, dan kita semua akan tunduk dan patuh. “Siapakah diantara kalian yang sejak akil baligh hingga sekarang tidak pernah meninggalkan sholat tahajud, walau satu malampun?. Kali ini semua pasukan duduk dan yang berdiri tinggal Muhammad Alfatih. Benar-benar menakjubkan, sosok anak muda usia 21 tahun yang tidak pernah meninggalkan sholat fardlu, sholat sunnah rawatib dan solat tahajud sejak akil baligh. Pribadi yang tidak saja memiliki kecakapan tapi juga kedisiplinan yang tinggi yang dididik sejak kecil. Pantaslah kalau dia bersama pasukannya yang di pilih Allah untuk menjawab sabda nabi yang diucapkan sekitar 800 tahun sebelumnya dengan merebut konstantinopel.
Pertanyaan menggelitik kita adalah, mungkinkah model perekrutan kepala daerah seperti ini?tidak perlu uang milyar-an baik dari KPU maupun para calon, tidak perlu ribuan spanduk yg nempel merusak pohon. Tidak perlu gontok-gontokan, Tidak kudu stress bunuh diri karena hutang yang tidak mampu dibayar.
Mungkin pikiran yang terlalu menyederhanakan masalah di sistem demokrasi ini. Tapi pemilihan imam yang dilakukan oleh Muhammad Alfatih menjadi contoh kecil bahwa perlu kapasitas yang sudah teruji, baik intelektualitas maupun moral yang mesti dimiliki untuk menjadi pemimpin. Paling tidak sistem perekrutan kepemimpinan baik tingkat nasional maupun daerah perlu difikirkan adanya mekanisme penyaringan, rekam jejak kapasitas moral dan intelektual sebelum dipilih secara langsung oleh rakyat, tidak hanya sekedar memiliki sumber dana dan disetujui oleh sebuah partai politik. Sehingga pemimpin yang terpilih tidak hanya pandai membangun citra agar tetap popular akan tapi pandai juga membangun bangsa dan daerahnya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H