Jumat sore itu mendung cukup bergelayut. Seusai bertemu dengan teman di daerah Rasuna Said, Kuningan, seperti biasa kaki ini melangkah menuju halte bus Transjakarta, angkutan umum yang menjadi favoritku. Selain memang tidak punya kendaraan di Jakarta ini, Transjakarta menjadi moda transportasi yang cukup membantu menghindari macetnya lalu lintas Jakarta walaupun kadangkala jalurnya sering di serobot kendaraan pribadi.
Setelah membeli tiket, saya menuju antrean yang sore itu memang cukup banyak, meski jalur yang saya lewati berlawanan dengan arus pulang kantor. Inilah ciri khas jumat sore di Jakarta. Pandanganku tertuju sosok yang cukup saya kenal berada di antara pengantre busway. Meskipun agak tidak percaya, saya hampiri sosok yang ternyata memang sahabat senior yang lama tidak bertemu. Sekitar 3 tahun yang lalu ketika sahabat itu masih menjadi salah satu petinggi BUMN cukup besar di negeri ini. Agak tidak percaya memang, karena seorang petinggi BUMN dengan usia yang masih cukup muda bersusah payah menaiki busway, apalagi saat itu antreannya cukup padat.
Ternyata dia baru saja melepas jabatannya di perusahaan ber-plat merah tersebut. Meluncurlah ungkapan-ungkapan akan kegundahannya selama di kantor. Dia tidak cukup kuat menahan gempuran kepentingan politik di kantornya yang sesungguhnya sudah jamak terjadi di BUMN. Kepentingan bisnis seringkali berbenturan dengan kepentingan politik yang yang seolah tanpa henti ingin mengintervensi. Jiwa profesionalismenya berontak, sebagaimana Anggito Abimanyu yang memilih pulang ke UGM, dalam skala lain, sahabat tersebut memilih mundur.
Bukan keputusan yang mudah baginya untuk itu. Posisi yang nyaman dengan segala fasilitas yang melekat, mulai dari rumah dinas, gaji besar hingga mobil mewah dengan sopirnya dia tinggalkan. Tapi sahabat tersebut bukanlah sosok yang lemah, yang memilih berkompromi di dalam zona nyaman. Perjalanan karier yang cukup panjang yang dimulai dari nol, dengan latar belakang keluarga yang bersahaja memberikan tempaan mental dan spiritual tersendiri.
Hujan deras yang mulai mengguyur membuat obrolan kami menjadi tambah panjang. Dia bercerita bagaimana begitu exciting-nya mengelola bisnis barunya. Mulai dari jasa pengiriman, menjadi trainer manajemen hingga jualan via internet. Semua dia lakoni tanpa merasa canggung dan gagap. Hingga keinginannya untuk membiasakan memakai Transjakarta meski memiliki kendaraan pribadi. Sebuah karakter yang jauh dari penyakit post power syndrome. Baginya hidup adalah ikhtiar yang kudu dijalani dengan ikhlas dan penuh semangat. Dan rejeki adalah hak prerogatif Sang Maha Pemberi.
“Fich, Saya selalu ingat apa yang dilakukan oleh Siti Hajar”ungkapnya. Ditempat yang sunyi dan terpencil, Hajar dan bayinya Ismail tidak mendapati apa-apa yang bisa diminum. Hingga harus berlari mondar-mandir tujuh kali antara marwah dan shafa untuk sebuah mata air yang ternyata semu. Dan Tuhan dengan kuasanya memberikan ganjaran air zamzam atas kerja keras Hajar.
Itulah yang dia lakoni saat ini. Sebuah usaha untuk menjemput rizki yang diyakininya lebih berkah dan mulia dengan dibarengi keyakinan akan pertolonganNya.
Obrolan berakhir saat saya mesti turun di Dukuh Atas menuju kantor tercinta, sementara dia meneruskan perjalanan menemui salah satu relasi seorang pengusaha Malaysia. Semoga ini menjadi salah satu ikhtiar sahabat tersebut untuk menjemput kesuksesan sebagaimana Hajar mendapati air zamzam. Dan saya yakin dengan usia yang relatif masih muda, kecakapan dan jaringannya, kesuksesan tinggal menunggu waktu.
Jumat sore yang hujan lebat ini memberikan secuil hikmah, makna sebuah ikhtiar. Air hujan yang deras seperti memberikan energi akan keyakinan bahwa kesuksesan sesungguhnya bukan dinilai dari hasil akhirnya, akan tetapi bagaimana kita memaknai, menjalani sekaligus menikmati di setiap ikhtiar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI