Mohon tunggu...
muhammad arofik
muhammad arofik Mohon Tunggu... wiraswasta -

hanya orang awan yang melihat dari kacamata awam...

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mas Muji dengan 100 Angkringannya di Jakarta

1 Agustus 2010   16:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:23 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_212787" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Kompasiana/Robjanuar)"][/caption]

Dimanakah tempat yang paling favorit dikunjungi setelah penat pulang dari bekerja? Kalau pertanyaan itu diajukan kepada para buruh seperti kita-kita ini, tentu ada sebuah tempat nongkrong yang saat ini mulai sering disebut para penerima gaji bulanan, Kita sering mengistilahkan kaum proletar Jakarta dari jawa, Angkringan.

Tempat itu pula yang aku sambangi, tepatnya di angkringan mas Muji, yang terletak di bilangan Setiabudi yang kebetulan dekat dengan kantor. Nuansa angkringan selalu menjadi pelepas rindu akan kampung halaman yang sejuk, sepi dari hiruk pikuk bisnis. Dialog-dialog dengan dialek khas jawa mengisi setiap obrolan. Baik antar pembeli, maupun penjual dan pembeli. Tidak ada pembagian kasta, penjual tidak merasa jadi pelayan, pembelipun juga tidak memposisikan orang yang mesti dilayani dengan baik selayaknya raja.

Tema obrolan bisa beragam mulai dari soal ariel luna, harga cabe yang satu biji 500 rupiah, kompor gas yang sering meledak, hingga perdebatan antara beda lothek dan pecel (makanan khas jogja). Bisa dikatakan tidak pernah ada pembicaraan tentang tender pemerintah yang nilainya milyar-an, ataupun lobi-lobi politik yang sering mewarnai obrolan di kafe-kafe Jakarta. Mereka tidak peduli kondisi perekonomian global yang baru lesu, perbankan yang menaikkan suku bunga, atau kondisi ekonomi makro saat ini. Mereka juga tidak menuntut macam-macam kepada pemerintah untuk memberikan iklim usaha yang kondusif, proteksi terhadap gempuran raksasa cina maupun fasilitas-fasilitas lainnya.

Seperti obrolan malam ini dengan mas Muji, dengan ditemani segelas teh jahe yang sedap. Di dalam kesederhanaannya, ia menyimpan pribadi yang relatif komplit menjadi orang sukses untuk ukurannya. Muji bukanlah orang yang meratapi kondisi. Bukan orang yang selalu berkeluh kesah akan kesusahan. Bukan pula golongan yang selalu menyalahkan pemerintah karena absen hadir di problem rakyat pinggiran. Baginya hidup adalah sebuah rentang waktu yang mesti dia isi sendiri dengan kerja keras.

Hal ini dibuktikan dengan etosnya. Pekerjaannya tidak cukup hanya berjualan dari menjelang petang hingga tengah malam. Saat pagipun dengan mata mungkin masih terkantuk-kantuk, Muji mesti ke pasar untuk membeli bahan olahan. Tidak cukup sampai di situ, Muji sendiri-lah yang memasak bahan-bahan tersebut untuk menjadi nasi kucing, aneka gorengan, berbagai macam sate, dan lain-lain yang akan disajikan sorenya. Semua itu awalnya dia lakukan sendiri dengan dibantu oleh salah satu saudaranya.

Saat ini Muji telah memiliki 6 angkringan yang tersebar di sekitar setiabudi, karet dan kuningan, yang itu dia lakukan bersama saudara-saudaranya dalam kurun waktu 5 bulan. Setiap membuka satu lapak, Muji mengajak saudara kampungnya untuk membantu, dan itu dia lakukan hingga 6 lapak angkringannya. Artinya minimal ada 6 orang dengan keluarganya yang terberdayakan.

Saat awal merintis selama 2 bulan dia baru bisa membuka lagi 1 angkringan, akan tetapi dengan berjalannya waktu, pengalaman yang telah dia dapat dari mengelola, tiap bulan dia bisa membuka satu lapak angkringan. Ketika aku tanya, “berapa jumlah angkringan akan dia buka, dengan lugas berkata sebanyak-banyaknya. Dan saat aku lontarkan angka 100, dengan tersenyum simpul dia menjawab insya Allah. Optimisme yang khas. Tidak meledak-ledak, akan tetapi akan dia lakukan sepenuhnya. Hidup dia jalani dengan kerja keras dan dilandasi dengan kepasrahan akan sebuah ketentuanNya, yang orang jawa mengistilahkan dengan ungkapan “urip sing sak madya”.

Muji adalah sosok yang tidak pernah terekspose media manapun, dia juga tidak pernah mengenal program-program pemerintah akan pemberdayaan UKM, tidak mengenal model franchiseyang baru menjamur, tidak pula mengenal program Pengusaha Muda Mandiri yang digulirkan salah satu bank ternama, bahkan bersentuhan dengan perbankanpun tidak. Saat ini memang dia baru memiliki 6 lapak angkringan di Jakarta. Tidak penting apakah dia akan memiliki 100 lapak angkringan di Jakarta. Akan tetapi ketekunan, ulet, persistensi dari seorang Muji telah membuatnya tidak hanya mandiri, akan tetapi hidupnya memiliki manfaat untuk orang lain.

Sambil menyeruput teh jahe yg sudah mulai agak dingin, pikiranku melayang seraya berguman mestinya negara berterima kasih dengan sosok-sosok seperti Muji yang secara kecil tapi nyata menyokong akan kemandirian sebuah bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun