Historis perekonomian Indonesia telah memberikan banyak pembelajaran terhadap penanganan guncangan ekonomi. Krisis Asia yang terjadi pada tahun 1997/1998 memberikan dampak serius terhadap perekonomian. Krisis tersebut telah meningkatkan inflasi secara signifikan hingga mencapai 77,6 persen yang berdampak pada jatuhnya nilai tukar Rupiah dari Rp2.383/USD hingga mencapai Rp 14.900/USD tahun 1998.
Inflasi menjadi pembahasan yang krusial dalam perekonomian. Kenaikan harga secara serentak dalam waktu tertentu akan menurunkan daya beli masyarakat yang pada gilirannya akan berdampak pada sektor ekonomi riil. Pada kondisi ini, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang memiliki mandat menjaga stabilitas ekonomi melalui inflasi perlu secara pro-aktif mengantisipasi kondisi gejolak inflasi.
Pada tahun 2005, Bank Indonesia mulai menerapkan kebijakan Inflation Targeting Framework (ITF). Sebelumnya, Bank Indonesia menggunakan kerangka penargetan jumlah uang beredar yang dianggap kurang efektif dalam menjaga stabilitas ekonomi.
Penerapan Inflation Targeting Framework oleh Bank Indonesia merupakan langkah strategis dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Melalui penetapan target inflasi yang eksplisit, penggunaan suku bunga sebagai instrumen utama, serta transparansi kebijakan, BI berhasil menurunkan tingkat inflasi dan meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter.
Kerangka ITF ini yang ditetapkan oleh Bank Indonesia mampu menjaga inflasi berada dalam rentang fundamentalnya. Hal ini disesuaikan dengan proyeksi perekonomian ke depan dengan mempertimbangkan inflasi pada periode sebelumnya.
Penargetan inflasi di tengah ketidakpastian ekonomi global
Bank Indonesia menetapkan target inflasi didasarkan pada proyeksi pertumbuhan ekonomi dan inflasi masa lalu. Pada tahun 2020, saat perekonomian terguncang karena dampak covid-19, tingkat sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yakni sebesar 31%. Akan tetapi kondisi ekonomi Indonesia yang pada masa krisis dengan pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi hingga 2,07 % memicu inflasi jauh dibawah sasaran inflasi inti yakni sebesar 1,68 %. Kondisi ini mencerminkan daya beli masyarakat yang rendah akibat krisis ekonomi.
Rendahnya tingkat inflasi pada tahun 2020 mendorong Bank Indonesia melakukan upaya stimulus perekonomian domestik. Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga hingga mencapai 3,50 % digunakan untuk menjaga daya beli masyarakat yang rendah serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, proyeksi perekonomian Indonesia yang kurang baik tidak memberikan respon yang positif terhadap penurunan BI-Rate.
Sinergi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan pemerintah dalam memulihkan kondisi ekonomi ditengah krisis akibat pandemi telah meningkatkan inflasi mencapai 1,87% dengan sasaran inflasi tetap pada 31%. Â Meski masih menunjukkan daya beli yang rendah, keberhasilan sinergi Bank Indonesia dan pemerintah Indonesia dalam meningkatkan daya beli masyarakat telah menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Rendahnya tingkat inflasi pada tahun 2020 dan 2021 menunjukkan kondisi yang berbeda pada tahun 2022. Kondisi ekonomi global yang menunjukkan tekanan yang dimulai dari ketegangan antara Rusia-Ukraina, invasi Israel-Palestina, hambatan di Terusan Suez, serta tekanan geopolitik lain di negara maju telah memberikan implikasi berbeda terhadap kondisi perekonomian. Inflasi pada tahun 2022 menunjukan peningkatan yang signifikan.
Pada tahun 2022, disaat tekanan geopolitik memanas, inflasi sasaran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar 31%. Pada kondisi ini, inflasi melonjak hingga mencapai 5,51% di akhir tahun 2022. Hal ini didasari oleh ketidakpastian ekonomi global yang meningkat dengan keagresifan bank sentral negara maju dalam menaikkan suku bunga kebijakan yang berdampak pada pelemahan ekonomi domestk negara berkembang.