Kondisi perekonomian saat ini berada dalam dilema stabilitas ekonomi eksternal maupun internal. Gangguan ekonomi global mengakibatkan tekanan terhadap ekonomi domestik melalui instrumen nilai tukar Rupiah. Ketidakpastian ekonomi global yang berlangsung lama memberikan tekanan terhadap pemerintah dan otoritas moneter di dunia, termasuk di Indonesia.
Rupiah yang bergejolak memberikan dampak terhadap peningkatan suku bunga kebijakan. Bank Indonesia secara bertahap telah meningkatkan BI-Rate sejak Agustus 2022 hingga 375bps sejalan dengan peningkatan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) oleh the Fed di Amerika. Kondisi ini kemudian menimbulkan ketidakseimbangan dengan tujuan stabilitas ekonomi domestik.
Peningkatan BI-Rate akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang melambat. Suku bunga mencerminkan biaya yang perlu dibayar dengan penyesuaian inflasi. Hal ini memungkinkan pelemahan daya beli serta kredit modal sehingga Bank Indonesia dengan kebijakan makroprudensialnya berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi ditengah upaya stabilitas ekonomi eksternal.
Kebijakan makroprudensial mengacu pada upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam mendorong pertumbuhan ekonomi utamanya pada sektor prioritas. Kebijakan moneter yang ketat memungkinkan menurunnya pertumbuhan kredit karena biaya pengembalian pinjaman lebih tinggi. Hal ini dapat memicu melemahnya perekonomian di suatu negara. Sehingga skema kebijakan makroprudensial ditujukan untuk memberikan pelonggaran terhadap bank umum dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit.
Urgensi Kebijakan Makroprudensial terhadap Perekonomian Indonesia
Kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam rangka mendorong pertumbuhan kredit akan meningkatkan kualitas intermediasi keuangan oleh Bank umum. Kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada dasarnya digunakan sebagai instrumen stimulus pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan makroprudensial digunakan untuk menjembatani kebijakan moneter dan mikroprudensial. Indikator makroekonomi yang menunjukkan nilai yang baik tidak menjadi dasar bahwa sistem keuangan juga baik. Perbankan mungkin tidak menyalurkan kredit secara tepat sehingga memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang terhambat ataupun kondisi ketidakstabilan sistem keuangan.
Prinsip kehati-hatian dari kebijakan ini didasari oleh trauma krisis keuangan global yang terjadi pada 2008 akibat prilaku spekulatif yang terjadi di Amerika. Tindakan lembaga keuangan Lehman Brothers terhadap suku bunga yang rendah memberikan spekulasi pada ekspetasi imbal hasil yang lebih tinggi dengan mengkreditkan properti secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan dampak perputaran uang. Hal ini kemudian memicu terjadinya krisis akibat lonjakan inflasi yang tinggi dengan suku bunga kebijakan yang juga dinaikkan memicu risiko gagal bayar yang tinggi.
Efektivittas Kebijakan Loan to Value (LTV) di Indonesia
Salah satu kebijakan makprodensial oleh Bank Indonesia ialah kebijakan Loan to Value (LTV)/Financing to Value (FTV). Kebijakan ini membatasi jumlah pinjaman yang bisa diberikan oleh lembaga keuangan terhadap nilai aset yang dijadikan jaminan. Kebijakan LTV oleh bank Indonesia merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar pinjaman yang diajukan dibandingkan dengan nilai properti yang dijadikan jaminan guna menjaga risiko stabilitas sistem keuangan.
Kebijakan LTV/FTV ini memungkinkan peminjam tidak perlu membayar uang muka atau DP sebesar 0 persen terhadap properti dan kendaraan. Pelonggaran yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap rasio pinjaman mencapai 100 persen ditujukan untuk memenuhi kriteria not performing loan. Pada kondisi ini, pertumbuhan kredit akan dapat meningkatkan laju perekonomian dengan stabilitas sistem keuangan yang terjaga.