“Sampaikan salamku padanya yang sedang merindukanku ya Din!”.
Dan Marisa menyambung lagi.
“Aku sudah miliki pria yang selama ini kucari-cari. Dia tampan dan juga kaya”. Ucap marisa pada Udin.
Udin yang tiba-tiba menjadi geram mendengar ucapan Marisa. Dan Udin langsung meminta pamit pada Marisa, dan pergi meninggalkan cafe kecil dekat sungai bening itu. Dan esoknya, Udin berjumpa dengan Aldi di sebuah halte dekat kantor Pos kota.
Dengan cepat dan tepat Udin mengerem motornya pas di depan halte, tepat di hadapan Aldi yang sedang duduk menunggu angkot.
“Hei Al, apa kabarmu?” Udin menyapa dan dengan tergesa-gesa menjabat tangan Aldi.
“Kabar baik, sobat!. Dan bagaimana denganmu? Baik juga kan....”. Aldi membalas sapaan sahabatnya itu sambil menepuk-nepuk bahunya Udin.
Dan mereka sangat akrab juga sangat bersahabat. Udin seorang sahabat baik bagi Aldi, dan juga sebaliknya. Mereka duduk di halte dan saling membicarakan tentang keadaan hidup mereka masing-masing. Mereka berdua sungguh seperti dua insan yang tak bisa dipisahkan. Mereka adalah sepasang sahabat terbaik. Dan saat itu Udin meminta izin untuk membicarakan tentang kisah percintaan Aldi dan mantannya Marisa yang kandas ditengah jalan. Hingga saat itu, di halte kota tersebut Udin menyampaikan sebuah kiriman salam dari mantannya Aldi.
“Al, Marisa mengirimkan salamnya buatmu. Dan dia sekarang tampak seperti cewek yang sedang beruntung ketimbang cewek-cewek lain di muka bumi ini!” Suara Udin agak terdengar sedikit geram.
“Oh iya, biarlah dia bahagia Din”.
“Din, ini ada sebuah buku kecil. Ku tuliskan semua tentang kisah-kisah kita. Tapi jangan bukakan buku ini sebelum aku sampai ke Paris ya!”.
Udin langsung terdiam, dan penasaran tentang apa yang diucapkan Aldi.
“emm.... kenapa Al? Kok begitu!” Tanya Udin penasaran.
“Tenang saja... dan sekarang pergilah pulang! Pasti istrimu sedang menunggumu dirumah”. Sahut Aldi dengan tenang dan mengulum senyum.
“Jadi, kapan kau berangkat ke Paris?”. Tanya Udin.
“Insya Allah, Mungkin minggu depan aku sudah disana”.
“Baiklah, aku turuti permintaanmu ini Al. Hati-hati kau disana, jangan tertipu cinta lagi”. Udin yang sengaja ingin membuat Aldi sedikit tertawa, walau tak sering tertawa lagi.
--@@--
Hari-hari berlalu dengan kicauan burung-burung pipit di sebuah kawasan persawahan di desa kecil dan dingin di dekat perbukitan Bener Meriah. Desa itu unik dan nyaman bagi sang novelis kelas kakap, bernama Aldi. Desa itu membuatnya bangga pada dirinya sendiri. Desa yang telah mengajarinya banyak hal tentang kehidupan. Desa yang mencetuskan mimpi-mimpi indah pada seorang penulis kelas kakap seantero aceh dan juga nusantara tentunya. Aldi tak ingin menceritakan kisah-kisah buruknya dalam hal cinta pada alam sekitar, karena dirinya sendiri menganggap bahwa diluar sana masih banyak persoalan-persoalan cinta dan nestapa yang terjadi lebih buruk dari kisah dirinya sendiri.
Dan di desa kecil itu, Aldi menulis sebuah puisi buat seorang wanita yang pernah mencintainya walaupun akhirnya dia tak mampu menjadikan wanita tersebut sebagai pendamping hidupnya. Aldi menulis sebuah puisi pendek diatas kertas putih dengan tinta hitam pena kesayangannya. Tak lain tak bukan, puisi itu ditujukan kepada Marisa Arafat pacar dari seorang pengusaha besar di kotanya. Dan puisi itu sudah dititipkan pada Udin, yakni diselipkan dalam buku kecil catatan pribadinya itu. Dalam puisi itu Aldi menterjemahkan isi hatinya kepada Marisa yang suatu saat nanti akan membacakannya dengan tenang dan gamang. Puisi itu berisikan kata cinta dan penuh kasih sayang. Walau di akhir jalan, Aldi tak bisa menemukan cintanya pada Marisa. Berikut petikan puisi tersebut:
Bidadariku yang cantik dan menawan
kuberikan kepadamu cinta dan harapan
namun luka berdebu menghalau pandangan
tak ku anggap dirimu menipuku
hanya hasrat hati yang ingin kebahagiaan menjadi milikmu, kasihku
pada eidelwis telah kuceritakan semua anganku
pada ranjangku telah ku pendam semua segala harapan
kini aku telah pergi, meninggalkan semua isi hati
di bawah malam, berkabut kelam...
--@@--
“Buku apa ini, bang?”
Istri Udin bertanya kepada Udin, suaminya yang berstatus sebagai wartawan di salah satu media kabar daerah.
“Oh, itu buku sahabatku Aldi. Dia memberikannya padaku kemarin sore”.
“Apa isinya? Bolehkah dinda buka....”. Dengan lembut istri udin meminta izin pada seorang suami.
“Jangan dulu. Aldi meminta padaku agar buku ini tak dibukakan sebelum dia berangkat ke Paris! Begitu katanya”. Udin mencegat istrinya dengan sopan.
“Oh... begitu ya? Semoga Aldi sabar ya bang! Dia terlihat masih sangat jera dengan keputusan Marisa tahun lalu. Dinda rasa, gadis itu sangat matre”.
Sepasang kekasih asyik mengobrol tentang kejadian putusnya hubungan Aldi dengan Marisa. Padahal Marisa telah bertunangan dengan Aldi. Dan tiba-tiba Marisa memutuskan hubungannya dengan Aldi dan berlabuh di pangkuan seorang pengusaha terkenal di kotanya.
--@@--
Satu minggu telah berlalu. Aldi ingin sekali menginjak tanah puncak Burnitelong. Sebuah puncak gunung di kabupaten Bener Meriah. Gunung yang indah dan menawan. Gunung itu diselimuti jutaan Eidelwis. Bila kaki telah berpijak diatasnya, mata kepala akan memandang ke Agungan Tuhan. Gunung yang dingin, dan di kelilingi hutan Gayo. Sungguh indah dan menawan.
Aldi menelepon Udin, dan menceritakan hasrat hatinya yang ingin sekali mendaki puncak gunung itu lagi. Dan udin pun mengiyakan permintaan Aldi. Mereka pun bersiap-siap untuk berangkat ke puncak gunung dengan peralatan dan persiapan yang memadai. Hingga suatu hari mereka beranjak pergi dan mengajak beberapa teman lamanya semasa kuliah dulu untuk mendaki perbukitan dan menginjak puncak Burni.
Hingga suatu ketika, saat puncak sedang diselimuti kabut, malam yang indah pun menjadi ringsut, lenyap dan kehilangan ribuan gemintang-gemintang kecil nun cantik dan mungil diatas sana. Cuaca pun menjadi dingin dan menggigil.
Tiba-tiba, Aldi jatuh di pangkuan Udin dengan tenang. Fikiran udin jadi kacau balau. Tubuh Aldi menggigil kedinginan. Dia memegang tangan Udin dengan erat dan berkata: “Bila aku pergi meninggalkan dunia ini. Bukalah buku yang kuberikan padamu, sobatku...”
Wajah Aldi menjadi pucat pasi, tangannya dingin sekali.
Udin dan teman-temannya pun segera menghangatkan badan Aldi dengan api unggun. Mereka panik dengan keadaan Aldi seperti itu.
“Al, kenapa Al...! Apa kamu sakit Al....!” Teriak Udin.
“Al, bangun...! Jangan buat kami cemas! Udin pun semakin panik.
Genggaman tangan Aldi pun semakin melemas.
Aldi berkata: Sahabatku, di dalam buku itu ada puisi buat Marisa. Dan surat kontrak kerja buatmu di Paris. Aku telah mengirim karya-karya tulismu ke Prancis yang kau simpan padaku dua tahun lalu, dan mereka menginginkanmu kerja disana.
Aldi mengambil sebatang pena kesayangannya dalam bag, dan memberikannya kepada Udin. Dalam pangkuan Udin, Aldi menghela nafas terakhir. Dan Udin berteriak sekuat tenaga. Mereka telah lenyap hancur berkeping dan menghening dibawah malam berkabut dingin. Udin menangis sepanjang malam dan sahabat lainnya hanya bisa merintih atas kepergian sahabat terbaik yang pernah mereka miliki. Angin berlalu hingga kabut padam menghilang, bulan dan bintang pun datang menyinari malam.
Judul : Catatan Seorang Sahabat.
Oleh : Aroelika Munar
Matangglumpangdua, 21 Juni 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H