Kerlap-kerlip pohon terang bersandingkan senapan laras panjang aparat. Hati bertanya sedang dimana saya ini? Dalam sebuah perayaan kedamaian atau di medan pertempuran?
Di mana damainya bila senjata menjadi bahasa untuk saling lewat? Kalau indikator “AMAN” dari sebuah detektor bom menjadi lebih valid ketimbang kesiapan hati para peserta?
Sebagian pihak menyebutnya sebagai prosedur keamanan, atau (mungkinkah) ini paranoia berlebihan?
Di sana ada yang menganggap konyol aksi peledak bunuh diri. Di sini ada yang ketakutan mati konyol karena ledakan itu.
Bagaimana mungkin satu kisah dimaknai berbeda? Bagaimana mungkin satu kebenaran berwajah ganda?
Jangan-jangan saya berdiri di tengah garis kebenaran yang berwarna abstrak. Tidak laki tak pula perempuan. Hanya banci karbit yang menari-nari liar dengan kerincingan kebenarannya masing-masing. –Mungkin banci sejati saja lebih jantan dari mereka-mereka itu-
Di sana mereka menikam, di sini kita menuding. Di sana mereka diterkam, di sini kita menutup kuping.
Bagaimana mungkin satu nurani berbeda budi? Bagaimana mungkin satu pencipta berlainan surga?
Entahlah, kutinggalkan saja segala tanya itu kepada yang lebih pintar. Hari ini saya hanya ingin datang bertemu sang Bayi.
Tiadalah peduli dengan senapan, pentung, detektor dan aparat di sana. Hari ini saya hanya ingin datang bertemu sang Bayi.
Bayi itu yang akan meluluhkan bahasa kekerasan. Bayi itu yang sedang tertidur lelap dalam dunia pengap. Namun jantung-Nya tetap hangat berselimut cinta. Dan rona wajah-Nya teduh, tanpa menuduh.
Kedamaian hanya untuk mereka yang berani mengosongkan dirinya.
Kiranya malam ini palungan itu berisikan si Bayi. Karena di tempat lain palungan sudah penuh dengan kado-kado besar, minus sang Bayi.
Semoga demikian….
(Aurelius)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H