Pak Gerson dan Pak Loke adalah nama kedua orang pedagang dengan disabilitas yang “mangkal” di sebuah warung makan tempat saya akan makan siang itu. Pak Gerson adalah seorang penyandang tuna netra dan Pak Loke adalah seorang tuna daksa.
Jika Pak Loke menjual koran sebagai dagangannya, maka Pak Gerson memiliki lebih banyak varian. Selain kemoceng buatannya sendiri, maka Pak Gerson juga menjual beberapa botol kecil berisi madu bawaan dari kampungnya.
Duduk tepat di depan pintu rumah makan, Pak Gerson dan Pak Loke mencuri perhatian setiap orang yang akan masuk ke warung makan yang cukup ramai tersebut.
Respon dari setiap orang berbeda-beda. Kelompok orang yang berespon terbagi menjadi tiga bagian, Pertama, kelompok yang tidak menghiraukan mereka. Kedua, kelompok yang masih sempat untuk bertanya-tanya harga dari dagangan, entah membeli atau tidak. Di bagian ini, Difabel dianggap benar-benar sebagai pedagang.
Kelompok yang terakhir adalah orang yang tidak bertanya tetapi langsung memberikan uang kepada mereka. Difabel disamakan dengan peminta. Sayangnya, setelah saya perhatikan kelompok ketiga ini lebih banyak dari kelompok kedua.
Difabel butuh dihargai bukan dikasihani
Fenomena seperti diatas sering saya temukan di beberapa tempat. Penjual difabel dilihat lebih sebagai seorang yang perlu dikasihani bahkan dianggap sebagai peminta-minta.
Saya lalu sadar bahwa ada sesuatu yang salah di fenomena ini, ketika membaca status Facebook teman saya. Teman saya menulis seperti ini, “Janganlah memberi uang kepada teman-teman Difabel yang menjual kemoceng seperti memperlakukan mereka seperti seorang peminta-minta, karena mereka sudah berjerih lelah membuat Kemoceng itu dengan tujuan untuk dijual. Belilah kemoceng mereka. Kemoceng mereka cukup berkualitas, karena saya sudah membelinya.”
Saya langsung mengaminkan apa yang ditulis teman saya tersebut. Saya pernah melatih teman-teman difabel untuk menghasilkan produk mebel (kursi dan meja). Antusiasme mereka sangat besar, bahkan terkadang lebih besar dari teman-teman yang “normal” sekalipun.
Siswa difabel di pelatihan saya seperti ingin membuktikan bahwa mereka dapat menghasilkan produk yang tak kalah berkualitas dengan yang dibuat oleh non difabel. Kisah inspirasi mereka bisa disimak dalam tulisan saya disini.
Sehingga sangat disayangkan apabila usaha dan kerja keras mereka ini dengan mengikuti pelatihan, memberikan segala daya mereka untuk menghasilkan sebuah produk termasuk membuat kemoceng diresponi dengan tindakan “tidak dianggap” atau "dikecilkan". Seharusnya mereka lebih dihargai dengan membeli produk mereka.