“To’o-to’o...mari su (Sudah)” teriak keponakan-keponakan lucu dari balik jendela mobil. To’o adalah panggilan untuk kaka atau adik dari ibu kandung bagi orang Rote. Sebuah jabatan yang tidak bisa dipandang remeh karena jika ingin melamar anak gadis rote, maka sang To’o ikut mengambil peran dalam menentukan besaran belis atau mas kawin. Ramahlah dengan para To’o, itu pesan saya jika anda ingin melamar anak gadis rote yang terkenal cantik-cantik di seantero NTT.
Itu hanyalah sekedar informasi karena keponakan-keponakan yang baru berusia 8-12 tahun itu tentu bukan memanggil saya karena mau dilamar tetapi karena ada sesuatu yang lebih menarik yang mengundang mereka siang itu, Pantai Nemberala. Bahkan undangan itu mengalahkan Siang dengan sengatan terik yang membuat kulit serasa perlu diregenerasi.
Hari itu tepat 15 hari saya di Pulau Rote. Pulau cantik di ujung selatan Indonesia. Tepat di hari sabtu, hari dimana biasanya anak-anak kecil kerap menagih waktu bersama dengan orang tua mereka.
“Iyaa..tunggu sebentar” kata saya sambil merapikan beberapa peralatan pribadi yang masih tersebar seusai melatih para siswa ketrampilan Meubelair di Desa Batutua. Singkat cerita, 10 menit kemudian kami sudah bersama dalam perjalanan menuju Nemberala.
Jarak dari Batutua ke Nemberala mencapai 30an Km. Tetapi perjalanan itu tidak memakan waktu panjang karena jalan di Rote sudah dihotmix. Campuran panas pembuat aspal yang membuat jalanan rote jauh lebih mulus dari 15 tahun lalu ketika saya pertama kali ke Nemberala. Tahun 1999.
Sesekali pertemuan dengan domba berbulu lebat yang khas rote bergerombol di tengah jalan yang sepi , memaksa kami menunggu dengan kesabaran tingkat dewa, karena domba-domba itu tidak merasa perlu untuk segera menyingkir.
Sesudah perjuangan itu, akhirnya kami sampai juga ke Nemberala. Pantai dengan hamparan pasir putih luas yang menghiasi bibir laut terlihat dengan jelas. Dibandingkan sekarang, belum terlalu banyak bangunan permanen yang berdiri menutup indahnya Nemberala.
Bahkan, meskipun sudah terkenal dengan tinggi dan arah gelombang yang katanya menyamai gelombang di Hawaii-Amerika sana (meski banyak orang rote pun tidak tahu di mana itu), namun pada waktu itu belum banyak Surfer asing yang terlihat. Malahan remaja seumuran saya pada waktu itu hanya ingat akan betapa alaminya pasir Nemberala. “Semakin dalam kaki bisa masuk ke dalam, semakin alami pasirnya” kata beberapa orang yang mencoba menilai pasir Nemberala.
Lamunan saya akhirnya terhenti ketika mobil sudah memasuki wilayah Nemberala. Mata saya bergerak kepada pemandangan yang masih asing di 15 tahun lalu. Terlihat seorang pria bule yang sedang bercengkerama akrab dengan dua wanita lokal. Beberapa kali tangannya mencubit lengan salah satu dari wanita. Sebuah sambutan yang menarik perhatian saya.
Sudah banyak bangunan permanen di Nemberala. Mereka menamakannya dengan Villa ataupun Bungalow. Nama-nama seperti Luna Maya, Bambang Trihatmodjo dan putranya Panji serasa tidak asing lagi sebagai pemilik salah satu Villa. Beruntung, akses masuk ke Nemberala masih mudah dan gratis.