Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Karyawati Gramedia Itu Tak Terlihat Cantik Lagi

25 Mei 2023   13:45 Diperbarui: 27 Mei 2023   10:48 25750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Dokumen Pribadi

Sesudah Gramedia hadir di kota kami yang kecil bertahun-tahun yang lalu, maka toko buku Gramedia adalah  salah satu tempat favorit saya,  bahkan bisa dikatakan terfavorit. Toko Gramedia di kota saya itu, tiga lantai, tapi tidak besar. Kecil. Lantai satu berisi ATK dan barang lain, lantai dua dan tiga; buku.

Bukan apa-apa, dibandingkan toko buku konvesional;  tempat yang nyaman, lapang dan dilengkapi buku buku serta majalah yang berkualitas membuat saya rela menghabiskan waktu bisa berjam-jam di Gramedia itu. Satu-satunya toko buku gramedia di kota saya.

Tentu saja demi simbisios mutualisme, meski berjam di sana, saya pasti akan membeli buku. Ketika masukan dari K Rewards masih cukup tebal, maka Gramedia jadi tempat utama pelampiasan untuk menghabiskan uang berbonus buku.

Oh iya, karena cukup sering kesana, saya jadi menghafal wajah beberapa karyawan di Gramedia itu.  Salah satunya, seorang bapak yang nampaknya sudah sangat lama bekerja di sana, mungkin berlevel supervisor atau manajer.

Saya ingat betul kerutan bapak itu di dahinya--meski tak berambut putih, perkiraan saya sudah lebih dari delapan tahun beliau bekerja disana. Beliau biasanya akan tampil jikalau karyawan baru nampak gagap menyelesaikan persoalan pembayaran dengan kartu atau e-money di meja kasir.

Beliau itu keren, rapi, bajunya disisipkan di celana, pokoknya keren. Makanya, meski berkuliah di Teknik, tapi saya sempat berpikir akan menjadi seperti beliau. 

"Keren juga jadi bos yang punya buku-buku sebanyak ini. Mungkin dapat jatah buku gratis setiap bulannya" banyol batin saya waktu itu.

Tapi begini daripada disalah sangka---Saya kira yang membuat bapak itu "bersinar" karena karyawan Gramedia wanita lah yang mengelilingi beliau, di jaman itu, terlihat manis dan cantik-cantik.

Berseragam/berkaos biru, berjeans, bersepatu sporty, lalu tampil lincah kesana kemari, mencari judul buku yang kita pinta dan dengan kemurahan senyum manis yang paripurna dan  tak pernah habis, memang membuat kaki seperti tak mau beranjak pulang.

Wajah mereka juga semakin bertambah bercahaya, karena lampu Gramedia itu terang benderang. 

Kata kolega yang Arsitek, memang harus begitu, soalnya cahaya itu dapat membangun psikologis. 

Begini maksudnya. Di sinar yang terang, karyawan akan terlihat bersih, gagah dan cantik, sedangkan konsumen akan merasa percaya diri dan bangga jika membelanjakan uangnya terhadap barang/buku-buku yang dijual. Oh, begitu.

Lain kala, ada seorang teman yang pernah bilang begini. "Keluar masuk Gramedia, tanpa membeli itu, menyenangkan", ya ialah, seperti masuk tempat mewah, tapi tak keluar uang, namun diberi senyum wanita cantik, ya begitu.

Tapi itu perasaan dia saja ya, belum tentu sama dengan perasaan para karyawan. 

Tersenyum tapi bisa saja membatin lain dalam hati. "Lama, tapi tak membeli. Pulang sana". Tak begitu juga. Hehe.

Di kasir apalagi. Senyum karyawati Gramedia itu penuh dan ramah. Mungkin sudah diajarkan untuk begitu, makanya walaupun hanya membeli buku diskonan saja, sudah berasa jadi raja.

Tapi memang, waktu itu Gramedia memang banyak karyawannya. Hampir ke setiap rak, diikuti dan ada karyawannya, dilayani dengan sangat baik.

" Ada yang bisa dibantu?". 

"Ada buku apa yang perlu saya carikan?"

Saya hanya membalas dengan senyum, jika memang hanya melihat-lihat. Kadang-kadang ada malunya juga.

Sayangnya,  saat Covid-19 melanda, jumlah karyawan menjadi sedikit. Selain kabarnya banyak karyawan yang dirumahkan, pembagian shift kerja membuat beberapa orang karyawan termasuk bapak bos itu tidak terlihat lagi.

Memang sebelum Covid-19, saya merasakan Gramedia terlihat sudah berjuang untuk menambah pemasukan tidak dari buku saja.

Di beberapa lorong yang dulu nampak lapang, sudah diisi dengan barang-barang non buku, baik itu tas, boneka atau barang-barang lain yang tidak pernah terlihat waktu Gramedia hadir.

Akibatnya memang ya itu, tempat menjadi sedikit sempit, dan buku-buku nampak berkurang jumlahnya. Tidak banyak sih, tapi satu lantai kecil, yang dulu dipenuhi buku, sekarang sekitar dua pertiga, atau hampir setengah ruangan yang terisi buku.

Memang Gramedia nampaknya ingin berinovasi untuk menjaga keseimbangan pendapatan dan pengeluaran.

Tren lebih banyak keluarga yang datang mencari buku pelajaran untuk anak mereka, dimanfaatkan untuk berjualan tas dan semacamnya.

Saya ingat betul ditawarin program antar buku ke rumah dan lain sebagainya, tetapi saya kira, mungkin tidak signifikan berpengaruh terhadap pendapatan.

Akhirnya yang terlihat di Gramedia berbeda jauh dibandingkan bertahun-tahun lalu,  karena pengurangan pegawai dan pendapatan yang berkurang itu.

Terkadang, pria berkostum Satpam mesti datang mendampingi konsumen ketika sedang melihat-lihat buku.

Nampaknya bukan untuk kepentingan keamanan, tetapi berperan ganda sebagai pendamping konsumen. Kadang-kadang saya terganggu didampingi pria berseragam sekuriti, bukan karyawati berbaju biru. Tapi ya memang harus begitu.

Di lantai paling atas, dimana banyak buku-buku pengembangan diri, yang dulu bisa ada lima atau enam pegawai disana, sekarang tinggal satu orang saja. 

Saya bahkan kadang mengira tidak ada siapa-siapa di lantai itu, jikalau sang karyawan sedang duduk menata buku di sudut ruangan.

Jika sang karyawan muncul tiba-tiba, saya bahkan kaget, jika hanya berdua di lantai itu. 

"Aih, saya kaget om. Kira tidak ada siapa-siapa". Seperti hantu, untung saya tak lari karena ketakutan atau menyumpah serapah karena kaget. 

Dua minggu lalu saya ke sana lagi, setelah berbulan-bulan tidak ke Gramedia. Langsung menuju lantai dua dan tiga, tempat banyak buku berada. 

Saya memang sedang mencari  buku berjudul "Deep Work" karangan Cal Newport.

Toko Gramedia itu nampak sepi di dua lantai itu. Dan cahaya, yang adalah koentji dari saling pandang itu sudah berkurang.

Di titik-titik tertentu, lampu nampaknya tidak dinyalakan. Memang tidak gelap gulita, tapi gelap, tidak suram, tapi  agak buram.

Setengah jam disana, tidak ada yang menghampiri. Di lantai tiga ada satu satunya karyawan yang sedang sibuk menata buku. 

"Ada buku Deep Work"" tanya saya. "Oh coba saya cari pak" jawabnya.

Tak lama, pria berpakaian sekuriti datang, mereka masih bercanda. Kurang lebih 15 menit. Waktu berjalan pelan diiringi musik instrumentalia Kenny G, khas Gramedia.

Saya hampiri lagi "Buku Deep Work ada?" tanya saya. " Oh, habis pak" jawabnya. Saya yang percaya lantas beranjak mencari buku yang lain, dan memilih buku berjudul "Great at Work".

Lalu karyawan itu tiba-tiba datang. " Maaf Pak, buku deep work ada". 

Saya lalu menuju rak yang ditunjuknya. Bukunya memang masih banyak, tapi saya membatin, mengapa dia (karyawan itu) terlalu cepat menjawab tidak ada ya. Ah, sudahlah, mungkin banyak masalah.

Di lantai dua, saya melihat seorang karyawati, sendirian. Tidak melamun, tapi nanar memandang  Sekilas mencoba memberi senyum pada saya, tapi agak berat. Sepi memang, padahal hari minggu.

Menuju ke kasir saya bertemu dua orang di meja kasir yang mungkin saling menemani,  di lantai satu yang juga sepi.

Saya kenal salah satunya, karyawati lama. 

Dia tersenyum---tapi tak penuh, melayani pembelian, dan kembali memberikan senyum-tak penuh. Polesan kosmetik juga tak rata, tak lagi terlihat cantik seperti dahulu.

"Kak Arnold......" saat dia mencocokan nomor handphone saya dengan apliakasi Myvalue.

Sesudah layanan itu, saya berterimakasih padanya, lalu membuka pintu keluar sendiri, tak ada yang membantu dan menyapa lagi di pintu itu.

Sekilas saya menengok balik ke kedua karyawati itu, yang kali ini hanya duduk diam, melihat rak-rak ATK yang tak ada pembelinya itu. Hmm, apalagi karyawati yang sendirian di lantai dua.

Ah, sudahlah. Dua buku bagus sudah saya bawa pulang. Deep Work karangan Cal Newport dan Great at Work karangan Morten T Hansen. 

Tulis Morten T Hansen di cover bukunya menarik, bagaimana karyawan terbaik bekerja lebih sedikit, memiliki hasil lebih baik, dan pencapaian lebih tinggi. 

Saya memang rindu Gramedia seramai dulu lagi. 

Toko Buku Tutup ya, tapi tolong janganlah Gramedia. Masih rindu mendengar alunan musik Kenny G disana dan hal lain disana.

Dua buku berkualitas itu sudah ada di meja kerja saya. Trims Gramedia.

Begitu saja. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun