Jika saya mengaku bahwa saya adalah penggemar Persipura Jayapura, maka saya yakin banyak yang menduga itu karena Kaka Boaz Salossa.
Ada tepatnya, tapi tidak sepenuhnya benar. Saya menyukai Persipura sejak jaman Om Edu Ivakdalam, Chris Yarangga dan Roni Wabia.
Tidak seperti dekade terakhir dimana saya bisa menyaksikan laga Persipura, dan menikmati aksi Kaka Bochi dkk dahulu melalui siarang langsung di televisi, maka cara saya mengidolai Om Edu dll tidaklah demikian.
Saya hanya bisa membayangkan aksi Om Edu, Chris Yarangga melalui tulisan di koran atau tabloid olahraga.
Bayangan yang sangat hidup, ketika saya membaca bahwa Om Edu mampu melepaskan umpan matang berbuah gol, mengkreasi serangan atau mencetak gol melalui bola mati.
Memori saya itu, membuat aksi Om Edu itu saya samakan dengan aksi Brasil dengan jogo bonitonya dan dengan kualitas individu yang menawan. Â Mutiara hitam ada di hati.
Nostalgi kejayaan Om Edu dkk berlanjut di kaki Boaz Salossa, Ortizan Salossa, Ricardo Salampessi dan Ian Louis Kabes. Para pemain di era berbeda yang dapat menjaga marwah Persipura sebagai klub yang disegani di Liga Indonesia.
Akan tetapi, seiring Boaz cs yang semakin menua, penampilan Persipura menurun dan juga dibumbui oleh relasi pemain dan manajemen yang buruk. Puncaknya adalah hengkangnya dua pemain senior, Tinus Pae dan Boaz sendiri.
Di musim ini, harus diakui retakan itu terlihat jelas.Â
Para pemain muda yang diharap menjadi tulang punggung seperti Todd Ferre nampak tak bisa menampilkan pernampilan terbaik mereka dan membuat Persipura terjerembab di zona degradasi. Akhirnya, pelatih Jacksen Tiago dipecat diganti Alfredo Vera.