Maksud saya seperti ini. Jika, timnas kita bermain dengan garis bertahan yang terlalu dalam, maka Thailand memainkan taktik bertahan di third zone dengan memikat.
Tidak dengan 5-3-2, namun Polking memainkan 4 bek sejajar yang disiplin dengan pressing digaris yang tidak terlalu dalam, atau jauh ke belakang.
Perhatikan bagaimana duet bek tengah, Manuel Bihr dan Theerathon Bunmathan bisa saling bahu membahu mengoordinasi garis sejajar untuk mencegah pemain Vietnam masuk ke kotak penalti mereka.
Manuel Bihr bahkan sering berada di sektor full back kanan untuk menahan laju pemain bernomor 10, Nguyen Cong Phuong untuk memulai serangan.
Apa keuntungannya? Tidak bertahan terlalu dalam, membuat jarak lini belakang dan tengah tidak terlalu jauh. Ini membuat pemain Thailand tidak akan membutuhkan waktu lama bertransisi saat menyerang dan bertahan.
Saat bertahan atau kehilangan bola, pemain Thailand bisa dengan cerdas menghentikan pergerakan dari para penyerang sayap Vietnam atau kreator seperti pemain bernomor punggung 14, Nguyen Quang Hai.
Quang Hai memang masih bisa membahayakan, tetapi harus diakui tidak mematikan seperti biasanya. Di babak pertama, jelas sekali untuk hal ini Park Hang-Seo harus mengakui Polking lebih cerdas.
Kedua, memilih menyerang dari sektor tengah. Salah satu hal yang baru saya sadari adalah meski pelatih Vietnam, Park Hang-Seo dapat dianggap juga cerdas, namun dia terlalu kaku dengan formasi 3-5-2 yang dapat bertransformasi menjadi 3-4-3.
Penjelasannya seperti ini. Di formasi ini, terbaca bahwa Vietnam sudah pasti akan mayor mengandalkan serangan dari sektor sayap. Bukan itu saja, kala bertahan Vietnam akan dapat menghalau pergerakan sayap dari lawan dengan efektif.
Tak ada gading yang tak retak. Kuat di sektor sayap, membuat konsentrasi Vietnam buyar ketika lawan memilih lini tengah sebagai fokus serangan.
Perhatikan bagaimana striker mungil Thailand, Chanathip Songkrasin, bergerak lincah dari sektor ini, dan sulit dihentikan pemain belakang Vietnam yang terlalu fokus pada sektor sayap.