Rekan kantor, pendukung Inggris garis keras nampak muram. Terkadang diam, lalu tiba-tiba berteriak. Bukan gila, tapi hanya untuk melampiaskan kekesalan. Itu baik bagi jiwa, tak mengapa.
"Itu Southgate, bodoh sekali memilih Bakayo Saka sebagai penendang kelima. Muka pucatnya saja sudah menandakan akan gagal!" begitu keluh mereka. Lalu terdiam lagi.
Saya berusaha menunggu mereka tenang. Sebagai yang mendukung Italia meskipun garis lembut, syukur suara saya masih didengarkan.
Tentu saja saya perlu menjelaskan dengan logis dan runut, agar saya jangan dianggap sedang menyindir mereka, padahal bermaksud untuk menghibur.
Nama lengkapnya memang cakep, Bukayo Ayoyinka Saka. Masih muda memang, baru berusia 19 tahun. Meski masih muda, Saka sudah menjadi pilar utama di klubnya, Arsenal.
Di timnas Inggris, mungkin masih ada yang terkejut mengapa Saka lebih dipercaya dibanding Jardon Sancho bahkan Marcus Rashford.
Saya sih memiliki alasan khusus. Gaya bermain Saka di Arsenal, itulah yang menjadi alasan utama pelatih Inggris, Gareth Southgate memilihnya.
Saka memang sedikit berbeda dengan Rashford atau Sancho. Kedua pemain yang lebih senior ini memang hebat, tapi memiliki gaya bermain yang dihindari Southgate di pergelaran Euro 2020 ini.
Saka bermain lebih praktis. Menerima bola, mengoper dan membuka ruang. Saka tidak suka menahan bola, bermain seperti pemain Brasil---kebiasaan Rashford dan Sancho.
Karena praktis dalam cara bermain itulah maka Saka lumayan membuat lini belakang Italia kesulitan, hingga Chiellini terpaksa menarik di bagian leher bajunya, hingga Saka hampir sesak napas.
Nah, kembali ke laptop. Lalu mengapa Saka yang dipilih untuk menjadi penendang kelima? Soal penendang kelima memang agak mengejutkan, karena Saka tentu tidak bisa dibandingkan dengan Jorginho yang menjadi penendang kelima Italia---meski sama-sama gagal.