Di Maracana Stadium, sesudah Wasit asal Uruguay, Esteban Ostojich meniup peluit panjang, para pemain Argentina langsung berlarian ke satu titik, yakni ke tempat dimana Lionel Messi berdiri.Â
Mereka memeluk, mengerebuti Messi. Tak lama kemudian, Messi diangkat, lalu dilempar ke udara beramai-ramai, bahagia. Di sisi lain, Neymar menangis tersedu-sedu, Brasil bersedih.
Albiceleste menuju ke final Copa America 2021 dengan tak mudah, bahkan tertatih-tatih. Di laga semifinal misalnya, Argentina harus berharap pada dewi fortuna untuk lepas dari tekanan Kolombia dan menang melalui babak adu penalti.Â
Karena itulah, banyak tak yakin bahwa final yang dihelat di Stadion terbesar di Brasil, Maracana ini akan berakhir sukacita bagi Tim Tango. Padahal Argentina sedang menunggu untuk lepas dari berbagai asa yang terpendam demikian lama.
Pertama, menunggu gelar pertama Lionel Messi bagi tim nasional. Messi boleh berulangkali mendapat gelar balon d'or. Akan tetapi, tanpa gelar bagi tim nasional, Messi boleh dianggap belum lengkap, apalagi bisa jadi, Copa America kali ini adalah gelaran terakhir yang mungkin dapat diikutinya.
Kedua, bagi timnas Argentina, gelar Copa America sudah sangat lama tidak diraih. Terakhir Tim Tango meraihnya pada gelaran 1993, saat masih jamanya Gabriel Batistuta, Sergio Goychecea dan Oscar Ruggeri.
Akan tetapi, Brasil yang menjadi lawan juga tak mau asa itu pecah telur di Maracana, simbol kejayaan mereka. Sambaleiro tak akan mau, di akhir laga akan ada tarian kebahagiaan tango yang tentu akan sangat melukai mereka.Â
Maka tak heran duel el classico ini berlangsung amat seru, ketat bahkan cenderung keras. Secara taktikal bahkan Tite dan Lionel Scaloni, harus beradu otak sepanjang pertandingan dengan merubah pola dan mengganti pemain.
Secara taktik, kedua tim bermain tanpa merubah terlalu banyak strategi yang dipakai selama pertandingan di Copa ini. Brasil masih menggunakan pola 4-2-3-1 yang selama ini selalu berhasil dan digdaya.
Menariknya, Argentina tidak merubah strategi mereka dengan lebih defensif. Argentina tetap memainkan pola 4-3-3 dan taktik ini baru akan berubah menjadi 4-4-2 defensif, sesudah Angel Di Maria mundur sedikit lebih ke tengah dan menyisakan Messi dan Lautaro Martinez di depan.