Apa yang membuat sepakbola menjadi olahraga yang paling populer dan dicintai di dunia? Saya pikir jawabannya karena sepakbola seperti merepresentasikan kehidupan itu sendiri.
Kehidupan itu seringkali berada di dalam ketidakpastian, segala kemungkinan dan ketidakmungkinan saling bergantian, tidak ada yang tahu pasti apa yang akan berlangsung di depan, tetapi yang pasti akan ada keterkejutan bahkan kagum untuk apa yang telah terjadi.
Inilah yang saya rasa terjadi dalam dua laga perempatfinal Euro 2020 yang telah usai di gelar. Kejadian yang terjadi di Saint Peterseburg Stadium, Rusia dan Allianz Munich, Jerman membuat tak karuan gejolak emosi jutaan penikmat bola.
Swiss Ditaklukkan Spanyol Melalui Drama Adu Penalti
Di Saint Petersburg, Timnas Swiss hampir saja melanjutkan perjalanan indahnya yang penuh kejutan. Swiss yang tak diunggulkan sebelum Euro 2020, hampir membuat Spanyol angkat kaki.
Seperti laga melawan Prancis, Swiss sudah mampu membuat Spanyol bermain hingga 120 menit, dan membuat Swiss semakin percaya diri setelah memaksa Spanyol untuk duel dalam adu penalti, setelah dalam 90 menit kedua tim membagi skor imbang 1-1.
Drama 90 menit dan 120 menit, dan awal adu penalti, sudah memihak Swiss, akan tetapi seperti Pemberi Harapan Palsu (PHP), Spanyol yang keluar sebagai pemenang.
Lihat saja, dalam 90 menit, tak ada pemain Spanyol yang mampu mencetak gol. Gol yang terjadi di gawang Yan Sommer juga terjadi karena gelandang Swiss, Denis Zakaria tanpa sengaja membelokkan bola ke gawangnya sendiri di menit ke-8, awal pertandingan.
Sesudahnya, Spanyol terlihat kesulitan menembus pertahanan Swiss. Seperti laga melawan Prancis, perlahan Swiss mulai mencari celah kesalahan dari para pemain Spanyol untuk menyeimbangkan kedudukan.
Kesempatan itu tiba pada menit ke-68, Xherdan Shaqiri membobol gawang Spanyol yang dikawal Unai Simon, melalui tendangan mendatar setelah mendapatkan umpan cantik dari Romo Freuler.
Freuler mampu  memanfaatkan bola liar dari kelumit yang tercipta karena ketidaksigapan dua bek tengah Spanyol, Pau Torres dan Laporte dalam menghalau bola yang sebenarnya mudah dikontrol.
Sial bagi Swiss. Freuler sang arsitek gol tersebut mendapat kartu merah 8 menit sesudah Swiss menyamakan kedudukan. Tekel bodohnya pada Gerard Moreno membuat wasit asal Inggris, Michael Oliver tak ragu memberikan kartu merah.
Bermain dengan 10 orang, entah mengapa yang terjadi, Spanyol juga belum unjuk gigi. Tak ada serangan yang berbahaya, jikapun ada, bola seperti lengket di tangan Yan Sommer yang tampil heroik.
Inilah yang membuat pada akhirnya Luis Enrique tak ragu menarik Alvaro Morata, Pablo Sarabia dari lapangan. Daniel Olmo dan Moreno dimasukkan mengganti kedua pemain tersebut.
Kolaborasi Olmo dan Jordi Alba memang kerap merepotkan dari sisi kanan pertahanan Swiss, akan tetapi lini belakang Swiss tampil kuat  dengan koordinasi apik dari Manuel Akanji dan Noco Elveldi. Hingga 120 menit, tak ada gol tambahan bagi Spanyol.
Sebelum adu penalti, wajah pemain Swiss terlihat lebih percaya diri. Mereka seakan semakin yakin bahwa semesta memihak mereka, setelah perjuangan tanpa lelah tersebut.
Dan kepercayaan itu semakin menjadi-jadi  sesudah Sergio Busquets, gelandang berpengalaman sekaligus kapten itu gagal menunaikan tugasnya sebagai algojo pertama. Tendangan Busquets membentur tiang.
Setelah kegagalan Busquets tersebut. Saya yang kemarin menuliskan tulisan tentang kekuatan para pemain imigran Timnas  Swiss di sini yang dapat menjadi kekuatan sendiri, yakin bahwa Swiss akan lolos. Apalagi Gavranovic---algojo pertama Swiss berhasil dengan mulus melesakkan bola ke gawang.
Logika saya sederhana, kepercayaan diri pemain Spanyol pasti akan lekas runtuh, dan algojo Swiss lainnya yang 100 persen berhasil melawan Prancis, akan mampu menunaikan tugasnya.
Akan tetapi saya salah. Sekali lagi, sepakbola itu bukan hitungan matematis, data hanya pemanis, harap sering beda dengan kenyataan.
Di dalam situasi yang tak biasa tersebut, akhirnya eksekusi Mike Oryzabal membuat mimpi besar Swiss itu buyar, para pemain Swiss tertunduk lelah sesudah berjuang setengah mati. Di sisi lain, Luis Enrique berjingkrak-jingkrak dengan  para pemainnya.
La Furia Roja nampaknya memang tampil tak istimewa di lapangan hijau, tetapi takdir membuat mereka nampak sukses menjadi Pemberi Harapan Palsu (PHP) bagi Swiss dan pendukungnya.
Italia Mengalahkan Belgia dengan Identitas Barunya
Di Allianz, Munich, Jerman, Â laga yang lebih seru terjadi. Super big match, mempertemukan Belgia Vs Italia.
Dugaan saya sebelum pertandingan, kedua tim akan bermain dengan hati-hati.
Bahkan, saya menyebut demikian. Belgia yang biasanya cepat akan tampil perlahan, dan Italia mungkin akan kembali ke identitas aslinya, cattenacio, sistim grendel untuk menghalau lini depan tajam Belgia yang mengandalkan Romelu Lukaku.
Saya setengah keliru. Belgia memang tampil hati-hati. Secara taktik, Roberto Martinez bahkan memerintahkan anak asuhnya untuk bertahan lebih dalam, lalu mengandalkan serangan balik memanfaatkan kecepatan De Bruyne, Lukaku dan Jeremy Doku--pemain yang sangat cepat.
Belgia bahkan tampil lebih Italia dengan semi sistim grendel. Tiga bek dipasang, Vermaelen, Adelweird dan Vertonghen rapat di belakang dengan dua bek sayap yang kali ini jarang overlap, Thorgan Hazard dan Thomas Munier.
Italia? Roberto Mancini ternyata tetap tampil dengan berani. Identitas baru Italia yang atraktif dan agresif tetap dipertahankan. Italia bahkan tampil lebih Belgia daripada Belgia sendiri. Tampil dengan gaya, stylish.
Bola-bola dialirkan dengan mulus, gelombang serangan terus dilakukan, meski dalam situasi unggul sekalipun---minimal hingga sebelum Leonardo Spinazzola harus keluar karena cedera.
Itulah yang membuat saya tidak heran dan yakin bahwa Italia akan menang meskipun di awal laga gol Leonardo Bonnuci sempat dianulir wasit pada menit ke-13.
Terus mengurung Belgia, pada menit ke-31 Nicolo Barella mampu membobol gawang Belgia yang dikawal Thibaut Courtois.
Tak puas satu gol, akselerasi menawan Lorenzo Insigne pada menit ke-44 diselesaikannya dengan indah melalui tendangan spektakuler. Skor 2-0 bagi keunggulan Italia.
Belgia sempat kembali percaya diri sesudah Doku dijatuhkan Di Lorenzo di kotak terlarang. Eksekusi penalti Lukaku lalu bersarang mulus di jala Donnaruma di menit 45+2. Saya rasa sesudah gol ini, pasti banyak pendukung Red Devils yang yakin  bahwa Belgia akan mampu mencetak gol berikut.
Akan tetapi sayang, harapan tinggallah harap, berbeda dengan realita. Memang Belgia mampu merepotkan pertahanan Italia terutama melalui Doku dan Lukaku, tapi janga dilupakan bahwa Gli Azzuri sekarang ini, selain atraktif dengan pemain mudanya masih menyisakan sisa-sisa legenda Cattenacio seperti Chiellini dan Bonnuci.
Inilah yang membuat pertahanan Italia menjadi sulit ditembus, ketika mereka bertahan lebih dalam. Apalagi, Bonnuci dan Chiellini kerap menaikkan semangat pemain lain dengan berteriak atau menaikkan tangan.
Martinez memang sempat melakukan kontrastrategi. Tielemans dan Meunier dikeluarkan dan digantikan Dries Mertens dan Nacer Chadli yang lebih agresif. Akan tetapi, Italia tetap kokoh. Hingga peluit panjang ditiup wasit asal Slovenia, Slavko Vincic, skor 2-1 tidak berubah.
Kemenangan ini membuat Italia akan berhadapan dengan Spanyol di laga semifinal. Akan menarik tentunya.
Spanyol nampak dinaungi keberuntungan, menguasai bola lebih banyak tetapi tetap kesulitan mencetak gol, dan terlalu mudah kebobolan. Italia sebaliknya, tampil stylish dengan identitas barunya, atraktif, agresif garang di depan gawang lawan.
Akan tetapi, apakah ini berarti bahwa Italia akan unggul atas Spanyol dengan mudah? Eitts, tunggu dulu, sekali lagi sepakbola sulit ditebak, harap dan kenyataan sring saling menikam. Kita tunggu saja.
Selamat bagi Spanyol dan Italia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H