Jika bicara banjir Jakarta maka bicara sinergitas dan eksekusi, soal diskursus sudah terlalu banyak dibicarakan, bahkan nampaknya hanya menambah polemik yang entah kapan akan habis.
Menjelang  tahun 2020 itu, jika kita ingat, saat itu heboh "duel" keras antara Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Ketika hujan mengguyur Jakarta akhir tahun hingga awal tahun 2020 dan membuat Jakarta terendam cukup berat, Basuki dan Anies berkesempatan bertemu saat melakukan inspeksi bersama. Tak pakai lama, Basuki mengutarakan kekecewaannya kepada Anies, tentang apa, tentang normalisasi sungai Ciliwung yang terhambat di km 16 dari total 33 km.
"Mohon maaf bapak gubernur, selama penyusuran kali Ciliwung ternyata sepanjang 33 km itu yang sudah dinormalisasi baru 16 km," ujar Basuki pada Rabu (1/1/2020).
Anies nampak tak sependapat dengan Basuki soal ini, di kesempatan lain, Anies menyebut bukan soal normalisasi yang menjadi persoalan, akan tetapi pengendalian banjir  daerah selatan Jakarta yang belum maksimal.
"Jadi, selama air dibiarkan dari selatan masuk ke Jakarta dan tidak ada pengendalian dari selatan, maka apa pun yang kita lakukan di pesisir termasuk di Jakarta tidak akan bisa mengendalikan airnya," kata Anies a, Kamis (2/1/2020).
Beda pendapat ini sempat membuat Anies berniat mengajak debat pihak lain yang tidak setuju dengan pendapatnya termasuk Basuki. Saat itu, polemik nampak usai ketika Basuki mengatakan bahwa dirinya tidak pandai berdebat. Deadlock Kementrian PU dan Pemprov DKI terjadi.
Sebenarnya, ini memang hanya persoalan diksi normalisasi dan naturalisasi. Anies lebih ingin naturalisasi daripada normalisasi dengan menggunakan identifikasi seperti ini;
Normalisasi itu adalah program yang sudah dijalankan sejak pemerintahan Gubernur Joko Widodo ( Jokowi) dan penerusnya Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok) yang berkaitan dengan  pengerukan dan betonisasi di sepanjang aliran sungai, sedangkan naturalisasi terlihat lebih ramah.