Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Tangis Serena Williams, Naomi Osaka, dan Alexis Olympia

19 Februari 2021   14:53 Diperbarui: 19 Februari 2021   23:01 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petenis Jepang, Naomi Osaka, berpose dengan trofi juara US Open 2018 setelah memenangi pertandingan final melawan Serena Williams dari Amerika Serikat, Minggu (9/9/2018). (Foto: AFP/JULIAN FINNEY via kompas.com)

Di jumpa pers kemarin, Serena Williams pada awalnya nampak tenang. Dia berusaha menjawab pertanyaan wartawan dengan seperlunya, sesekali terlihat dia tersenyum indah berpaut dengan kostum putih yang dikenakannya dengan balutan kalung queen di leher.

Akan tetapi, suasana sontak berubah. Ketika pertanyaan dari wartawan mengarah ke kekalahannya dari petenis asal Jepang, Naomi Osaka di babak semifinal Australia Open 2021 sebagai sebuah pengalaman yang buruk, Serena lantas seperti tak bisa menahan air mata seperti mau menangis. Lalu lekas beranjak pergi dari ruangan.

"I don't know...I'm done" kata Serena, pergi sambil menangis. Serena sebelumnya ditaklukkan Naomi Osaka dua set langsung 3-6, 4-6.

Ada apa dengan Serena? Berbagai tafsir bermunculan mengenai gesturnya ini. Salah satunya mengartikan ini sebagai tanda bahwa Serena mungkin tidak akan kembali ke Australia Open, ini adalah grand slam terakhirnya di benua Australia.

Wajar tafsir ini muncul di permukaan. Serena tidak muda lagi. Dia sudah berusia 39 tahun, keinginannya masih kuat, tapi belum tentu tangan dan kakinya masih akan mampu terus mengayun raket atau bahkan berlari mengejar bola ke setiap sudut lapangan.

Di Australia terbuka Serena memang adalah penggenggam tujuh gelar juara---gelar terbanyak di era Open, tetapi sudah cukup lama gelar Australia Open diraihnya yakni pada tahun 2017. Saat itu Serena mengalahkan saudara wanitanya, Venus Williams, 6-4,6-4, sekaligus menjadi gelar grand slam terakhir yang diraihnya.

Sesudah itu, Serena memang sempat istirahat karena melahirkan sang putri, Alexis Olympia Ohanian, dan setelah kembali ke tenis, Serena belum pernah mampu kembali menjuarai grand slam dalam 11 kali keikutsertaan, meskipun sudah masuk semifinal atau final di 5 kali kesempatan.

Saat ini Serena mengoleksi 23 gelar juara grand slam, hanya terpaut satu gelar dari Margareth Court, yang menjadi kolektor grand slam terbanyak tunggal putri dengan 24 gelar.

Apakah Serena frustrasi karena belum bisa menyamai gelar Margareth Court ini. Saya kira kemungkinan untuk itu tidak, secara pribadi saya melihatnya meski masih tertinggal satu gelar, namun Serena adalah ratu juara di era open, bisa dikatakan sudah unggul dari sisi itu.

Photo by PAUL CROCK/AFP via Getty Images
Photo by PAUL CROCK/AFP via Getty Images
Tafsir lain mencoba menjelaskan dari perspektif bahwa Serena memang sangat kecewa karena kekalahannya dari Naomi Osaka, dia kecewa dengan apa yang ditunjukkan di lapangan.

Dari statistik, penampilan Serena bisa dibilang tak sempurna seperti biasanya. Kesalahan sendiri, unforced errors, yang dibuatnya mencapai 18 kali, dan itu terjadi pada pukulan forehand, senjata andalan. Sesuatu yang jarang dan tak boleh terjadi di pertandingan penting seperti ini.

Akan tetapi apakah alasan teknis hanya menjadi satu-satunya alasan? Saya kira tidak. Kekalahan dari seorang Naomi Osaka, seperti berbeda, bahkan menjadi penanda bahwa senjakalah karir tenis bagi Serena sudah di depan mata.

Saya mesti dj vu, pulang ke final Amerika Serikat Terbuka 2018 untuk menjelaskan maksud saya. Laga final yang juga mempertemukan Serena Williams dan Naomi Osaka itu berlangsung dengan amat emosional.

Sebelum laga, harapan pecinta tenis Amerika seperti berbaur, mereka mencintai Serena, tapi mereka juga sadar, petenis muda bernama Naomi Osaka ini juga berdarah setengah Amerika (Hawai), dan itu nampak jelas dari warna kulit, rambut kecuali matanya yang sendu khas Asia.

Saya yang menyaksikan laga itu melalui siaran televisi berbayar, bahkan harus jujur pada diri saya, ibarat David dan Goliath, saya menginginkan Naomi yang menang. Situasi ini menjadikan laga terlihat berlangsung amat sentimental bagi seorang Serena.

Serena beberapa kali terlibat debat panas dengan wasit, karena persoalan sepele. Wanita yang saat itu baru menjadi seorang ibu itu, berteriak, lalu marah, meminta simpati penonton, sedangkan Naomi duduk saja, berdiam, seolah bingung untuk apa yang sedang terjadi.

Naomi sangat mengagumi Serena, dan menganggap kecintaannya terhadap tenis dibentuk karena pengaruh dari Serena. Laga itu akhirnya tetap dilanjutkan, dan Naomi menang atas Serena dengan skor telak, 6-2, 6-4.

Seusai laga, dalam winner speech, Naomi nampak sesenggukan, sedih. Dia meminta maaf karena menilai para penonton mungkin menginginkan agar Serena menjadi juara, dan dia merasa telah bersalah karena menggagalkannya.

Tulisan tentang laga saat itu, bisa dibaca di Serena Williams Emosi, Naomi Osaka Juara US Open 2018

Kemarin, ketika Naomi dan Serena bertemu di bibir net untuk bersalaman usai laga. Terlihat, berulangkali, Naomi menundukkan kepala khas orang Jepang untuk menunjukkan penghormatan untuk orang yang dihormatinya.

Kemenangan ini membuat Naomi untuk ketiga kalinya menaklukkan Serena dalam lima kali pertemuan mereka, dengan catatan penting bahwa Serena selalu takluk dari Naomi di grand slam.

Dalam laga itu, Serena seperti berhadapan dengan penerusnya dengan gaya bermain yang amat mirip. Jika selama ini, Serena mengandalkan power dan akurasi dalam pukulannya, maka Naomi juga demikian, hanya harus diakui Naomi yang lebih muda unggul dari kecepatan.

Artinya apa? Membicarakan Naomi dan bagaimana kekalahan yang diderita Serena, membuat Serena seperti semakin terbayang bahwa senjakalanya di lapangan tenis sudah di depan mata. Serena seperti tidak mau menerima keadaan itu, baginya selama dia masih kuat dia akan bermain.

Serena dan Alexia Olymphia, putri cantiknya I Gambar : essence
Serena dan Alexia Olymphia, putri cantiknya I Gambar : essence
Apalagi ada satu hal yang penting bagi Serena, yakni ketika dia resmi menjadi seorang ibu dia seperti berkata pada putri cantiknya, Alexia Olymphia, "Don't stop to dream, jangan berhenti untuk bermimpi".

Serena seperti ingin membuktikan bahwa dia masih bisa di hadapan putrinya, mimpi untuk kembali menjadi juara grandslam dan melewati rekor Mergareth Court itu masih bisa digapainya.

Akan tetapi, hari ini, mungkin saja Serena perlu belajar, bahwa memang janga berhenti untuk bermimpi, tapi tidak semua mimpi dapat menjadi kenyataan. 

Serena tak perlu khawatir jika realita itu yang akan terjadi, karena bagi Alexis Olympia, saya dan banyak penggemar tenis, Serena sudah menjadi legenda di tenis. Sesuatu yang akan sangat membanggakan Alexia saat mulai beranjak dewasa. Serena tak perlu menangis lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun