Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

"Bunuh Diri" dalam Restu Prematur Jokowi bagi Gibran?

21 Juli 2020   06:07 Diperbarui: 21 Juli 2020   06:35 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langsung saja. Ada yang bertanya demikian mengapa Jokowi merestui anaknya Gibran Rakabumi untuk maju dan bertarung pada pemilihan Wali Kota Solo 2020? Bukankah itu sebuah langkah dari sebuah politik dinasti?

Pertanyaan pertama jelas keliru, karena yang menunjuk Gibran atau yang menentukan untuk maju pada Pilkada jelas bukan Jokowi, tetapi PDI-P sebagai partai pengusung, sehingga alangkah baiknya jika kita membahas pertanyaan, apakah Jokowi sedang melakukan politik dinasti di sini?

Menurut saya, jawabannya, secara tipis-tipis iya, meski tebal tipis kadang-kadang subyektif melihatnya. Saya pikir politik dinasti di sini untuk kasus Gibran tentu saja berbeda dengan dinasti "parah" yang melahirkan pemimpin parah yang cenderung korupsi, ini terlihat di beberapa daerah.

Misalnya, ada bupati yang menunjuk adik, iparnya untuk "bermain" di daerah yang sama, lalu mulai kongkalikong juga untuk menunjuk saudara yang lain menjadi anggota DPRD, ini jelas ngeri, konflik kepentingan terjadi, dan nyatanya demikian, korupsi akhrinya terjadi.

Kembali ke Jokowi dan Gibran, apakah ini mungkin terjadi. Saya pikir terlalu jauh melihat ini sama dengan contoh yang saya katakan tadi. Bagi saya, Jokowi dan Gibran hanya ingin memanfaatkan momentum saja.

Jokowi sedang dicintai rakyatnya, lalu tinggal satu periode menjadi Presiden dan tentu saja populer sehingga ingin menaikkan Gibran yang kurang populer itu menjadi populer karena nama bapaknya, sah-sah saja. Artinya, tidak ada yang mengerikan menurut saya dari restu Jokowi pada Gibran ini.

Maksud saya yang mengerikan seperti ini, bahwa nampak jelas apa yang dimaksud oleh Lord Acton bahwa "power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely". Ini terlalu jauh, Belanda masih jauh, sehingga melihat ini sebagai potensi yang destruktif nantinya juga ibarat masih di awang-awang.

Persinggungan Jokowi dengan Gibran juga masih jauh dari sisi kepentingan nantinya, tidak ada yang terlalu perlu dikuatirkan, meski ada yang melihat ini memakai kacamata Thomas Hobbes, dalam Leviathan yang menyebut manusia dilahirkan dengan membawa hasrat untuk berkuasa.

Apakah nafsu kekuasaan yang membuat Jokowi merestui Gibran? Tak usah munafik, pasti ada dan itu sah-sah saja, karena Hubbles sendiri mengatakan bahwa hasrat pada kekuasaan itu merupakan dorongan alamiah yang terus-menerus (perpetual) dan tidak kenal lelah (restless) dan satu-satunya yang dapat menghentikan dorongan itu hanyalah kematian.

Persoalannya nanti, jika kekuasaan itu digunakan untuk kepentingan pribadi. Lha, ini belum apa-apa, ibarat berlayar, ini juga baru mau beres-beres kapal, layar juga belum sempurna terkembang.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun