Terhadap hasil elektabilitas terakhir, Juru Bicara Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak boleh mengatakan bahwa Prabowo tidak pernah memberikan perhatian serius terhadap hasil survei, akan tetapi hal tersebut bisa saja berbeda dengan kenyataannya.
Menarik melihat respon Gerindra di atas. Menurut saya, ada beberapa kemungkinan mengapa hasil survei elektabilitas atau popularitas yang penting untuk menentukan langkah atau strategi politik ke depan, Â nampak (sengaja) dihiraukan oleh kubu Prabowo.
Pertama, pihak Prabowo masih sangat yakin akan terus mendapat angka elektabilitas yang tinggi; atau sebenarnya sedang bingung menentukan metode yang tepat untuk menaikkan angka elektabilitas yang turun drastis tersebut.
Hal kedua menurut saya yang paling menarik. Mengapa kubu Prabowo dikatakan akan kebingungan?
 Mari kita lihat terlebih dahulu alasan utama di balik tren penurunan telah diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi.
Burhanuddin mencoba menjelaskan ada apa sebenarnya di balik penurunan drastis elektabilitas yang dialami Prabowo yang pada Februari lalu mencapai 22,2 persen namun pada Mei hanya mencapai 14,1 persen.
Penjelasan  Burhanuddin amat logis. Penurunan elektabilitas Prabowo disebabkan karena  saat pandemi Covid-19, adalah kesempatan atau panggung yang amat tepat bagi kepala daerah untuk mendongkrak popularitas.
Hal ini yang menyebabkan elektabilitas Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil naik signifikan, namun hal itu berlaku terbalik bagi Prabowo.
Dijelaskan pula bahwa sebagai Menteri Pertahanan, posisi Prabowo sulit karena tak bersentuhan langsung dengan penanganan Covid-19.
"Kepala daerah dengan populasi pemilih lebih besar, yang pintar mengambil momentum lah yang dapat insentif elektoralnya karena mereka lebih sering tampil di media," kata Burhanuddin dilansir dari  Kompas.com, Selasa (9/6/2020).