Dalam sebuah wawancara, Trump mengatakan bahwa media sosial seperti Twitter dan Facebook dijadikan alat untuk "menyerang balik" berbagai pemberitaan negatif mengenai dirinya di depan para netizen.
Trump juga mengklaim bahwa kombinasi 28 juta followers-nya di Twitter, Facebook, dan Instagram telah membantunya menang setelah melalui proses panjang, dari pemilihan Partai Republik hingga pilpres.
Bahkan, media sosial dinilai Trump lebih efektif ketimbang iklan di media konvensional, yang gencar dilakukan Hillary dan Partai Demokrat.
"Perang media sosial sangat besar. Dan saya rasa media sosial memiliki kekuatan lebih masif ketimbang uang kampanye yang mereka [pihak Hillary Clinton] keluarkan. Di taraf tertentu, saya membuktikannya," ujar Trump, saat itu.
The Wall Street Journal bahkan ikut menuliskan bahwa taipan real estate tersebut mendapat dukungan puncak melaui layanan Facebook dan Twitter sehingga menguatkan sentimen positif terhadap Trump dibanding Clinton pada masa itu hingga 58 persen.
****
Sebenarnya ada satu isu penting lain yang mengemuka bahwa Trump juga telah dibantu oleh Rusia saat Pemilu 2016 lalu.
Saat itu dikabarkan bahwa Rusia telah mengerahkan pasukan siber untuk mengacaukan pemilu AS dengan membuat ribuan akun palsu di berbagai media sosial untuk menyebarkan hoaks, memainkan isu sensitif, dan membenturkan para pendukung kedua calon presiden dengan keuntungan di pihak Trump.
Isu ini memang penting untuk direspon, namun tetap saja menjadi nomor dua jika menggunakan analogi penumpang dan kendaraan. Penumpang mungkin akan sulit atau tidak bisa dikontrol.
Namun penumpang tanpa kendaraan tidak akan efektif. Menjaga agar kendaraan (FB, Twitter dan Instagram) tetap berada di dalam kubu yang sama adalah sebuah hal yang amat penting, tidak penting siapapun penumpangnya nanti.
Artinya, ketidakberpihakan Twitter dan Facebook terhadap Trump, meski dengan dalih ingin menjadi netral tentu saja amat merugikan Trump menjelang Pilpres 2020 ini.