Persoalannya sekarang adalah secara internal bukanlah  soal pilihan akhir yang menentukan, tetapi PDIP nampak tidak kompak, dan terbagi lagi soal persoalan pencalonan ini.
Lain cerita jika DPC Solo menerima pengunduran diri Purnomo. Ini kan dapat berarti bahwa ada yang masih tidak setuju dengan pencalonan Gibran.
Harus diakui, meskipun elektabilitas Gibran cukup tinggi, tetapi kehadiran Gibran sebelumnya mennimbulkan pro dan kontra. Isu tentang aji mumpung muncul di permukaan, bahkan soal pengalaman dan senioritas di bawa-bawa. Â
Memang jika soal senioritas, pengalaman Gibran jauh dibawah Purnomo yang sudah dua kali menjadi Wakil Wali Kota Solo, sehingga jika bicara soal kematangan kepemimpinan maka Purnomo bisa dikatakan lebih siap.
Akan tetapi ini bukan berarti Gibran tidak punya peluang.
Kehadiran Gibran tentu akan menimbulkan kesegaran sendiri di dalam proses berpolitik yang sering dihiasi oleh wajah-wajah lama.
Keberanian Gibran mencalonkan diri juga dapat menjadi kampanye bagi anak-anak muda, generasi milenial agar juga tidak anti politik dan berani terjun langsung saat ada kesempatan.
Pertanyaan pentingnya adalah, kira-kira siapa yang menjadi pilihan PDIP nantinya? Â Jika harus menduga, mesti masih rada-rada bingung, saya pikir PDIP akan memilih Purnomo, bukan Gibran.
Desain yang terlihat adalah keputusan DPC Solo untuk menolak pengunduran diri Purnomo tidak berdiri sendiri. Ada diskusi dan timbang saran yang dibangun juga dengan pengurus pusat, soal mempertahankan Purnomo atau tidak. Termasuk menghitung peluang dengan Purnomo dibandingkan dengan Gibran atau calon yang lain.
Ini berarti secara tidak langsung sudah menjelaskan bahwa Achmad Purnomo akan dicalonkan sebagai Wali Kota Solo oleh PDIP dan bukanlah seorang Gibran.
Lalu Gibran? Anggap saja, pengalaman mencalonkan adalah seperti  test the water, dan ternyata Gibran juga memiliki elektabilitas yang tinggi. Ini sudah modal yang berharga, namun dirasa belum cukup. Sekarang tinggal menunggu, bagaimana desain politik dari PDIP bagi Gibran selanjutnya.Â