Seorang teman di Jakarta pernah mengatakan bahwa ketika melihat langit Jakarta yang tak pernah biru secara  paripurna, dia tahu bahwa hidup itu keras dan tak mudah. Bukan saja karena manusia di bawah langit di kota yang sibuk itu sedang beraktifitas,  tetapi langit di atas kota itu juga sedang berjuang melawan namanya polusi.
Ya, polusi. Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi terburuk dunia. Pada Agustus 2019 misalnya, AirVisual mencatat polusi udara pada saat itu tertinggi di dunia, dengan indeks kualitas udara (air quality index) Jakarta sebesar 170 dengan parameter berupa partikel polutan sangat kecil berdiameter kurang dari 2,5 mikrometer (PM 2,5) dan juga konsentrasi PM 2,5 di udara yang mencapai 92,4 mikrogram per meter kubik.
Angka ini sangat jauh di atas jumlah standar konsentrasi udara menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) yakni 25 mikrogram per meter kubik dalam jangka waktu 24 jam.Â
Pada waktu yang sama, Airvisual menyatakan bahwa Jakarta berkumpul dengan  Santiago, Chile dengan angka AQI sebesar 160 dan Dhaka, Bangladesh dengan angka AQI 159 di tiga besar kota terpolusi sedunia.
Satu bulan kemudian, yaitu pada September 2019, Airvisual kembali memperlihatkan tidak ada perkembangan siginifikan dari polusi udara di Jakarta. Jakarta masih tercatat sebagai kota besar dengan polusi udara terburuk kedua di dunia dengan tingkat polusi 160, di bawah Hanoi, Vietnam dengan tingkat polusi 190.
Dari dua data Airvisual ini, jika dirinci perwilayah di Jakarta, maka  Mangga Dua selatan, Jakarta Pusat menjadi daerah dengan AQI tertinggi mencapai 170. Disusul Pegadungan, Jakarta Barat dengan 169, dan Rawamangun dengan 167. Sedangkan kota-kota di sekeliling Jakarta yang dianggap tidak sehat adalah Kota Bekasi dan Bogor yang mencapai tingkat polusi 155, dan Tangerang Selatan yang mencapai angka 175.Â
Catatan-catatan buruk soal polusi udara di Jakarta ini membaik pada Maret 2020, bahkan dapat dikatakan berubah signifikan sampai awal April 2020 ini. Tak disangka, di balik keadaan Jakarta yang sedang menghadapi wabah Virus Corona, polusi udara menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya.
Saat kebijakan Work From Home diterapkan, tingkat polusi Jakarta menurun. Dari catatan AirVisual, kualitas udara Jakarta pasca WFH pada Jumat (20/3) hingga Minggu (22/3) menyentuh angka AQI masing masing 88, 67, dan 72. Di bawah 100, pencapaian yang jauh di bawah catatan di akhir tahun 2019 lalu.
Hal ini dibenarkan oleh Kasubid Analisis Informasi Iklim BMKG Pusat, Adi Ripaldi yang mengatakan kualitas udara DKI Jakarta selama Covid-19 membaik karena tidak banyak mobilitas kendaraan sehingga mengurangi polusi udara. "Langit biru bersih karena polusi udara sudah dicuci oleh air hujan, sehingga pada saat cuaca cerah akan terlihat biru," kata Ripaldi, Kamis (2/4).
Logika yang dapat dipahami dari penjelasan ini sebagai berikut, Â kebijakan jaga jarak sosial (social distancing) dengan kerja dari rumah selama pandemi Covid-19 membuat pengeluaran polusi udara secara mekanik berkurang, dan ketika hujan tuurn maka lebih mempermudah kualitas udara Jakarta.
Hal ini dijelaskan lebih rinci oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Andono Warih dalam keterangan tertulis, Rabu (25/3/2020). Andono memaparkan bahwa penerapan work from home bukanlah merupakan faktor tunggal  bersihnya udara Jakarta , selain curah hujan, arah angin juga membantu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!