Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

PAW Mulan Jameela, Harun Masiku, dan OTT KPK

14 Januari 2020   11:11 Diperbarui: 14 Januari 2020   18:20 2183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Hadar Nafis Gumay menjelaskan beberapa hal yang menarik berkaitan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Komisioner Wahyu Setiawan karena dugaan suap.

Seperti diketahui, Wahyu diduga meminta uang sebesar Rp 900 juta kepada kader PDIP dan mantan Caleg Harun Masiku sebagai biaya operasional untuk memudahkan proses PAW Harun sebagai anggota DPR RI. Wahyu sudah ditangkap sedangkan Harun masih melarikan diri.

Pertama, soal kesamaan kasus Harun Masiku dengan penetapan PAW artis Mulan Jameela menjadi anggota DPR RI. Kesamaannya yaitu, proses PAW Mulan juga melalui tindakan hukum yang sejatinya dianggap Hadar telah merusak proses demokrasi.

Apa pasal? Untuk penetapan Mulan, Gerindra beberapa kali berupaya mengubah putusan KPU melalui hasil sidang atas gugatan yang dilayangkan sembilan caleg Gerindra ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Hasilnya Mulan ditetapkan sebagai PAW, padahal . Mulan yang maju dari Dapil XI Jawa Barat yang meliputi wilayah Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya, sedianya hanya mampu meraup 24.192 suara, masih di bawah beberapa anggota partai lain seperti Fahrul Rozi dan Ervin Luthfi.

Setelah gugatan dan penetapan tersebut, Fahrul sendiri bahkan mengaku tidak tahu posisinya telah digantikan oleh Mulan Jameela sebagai anggota DPR terpilih, sedangkan Ervin hanya bisa pasrah.

Sementara itu, Ervin Luthfi, calon anggota DPR terpilih, membenarkan surat keputusan KPU yang isinya menetapkan Mulan Jameela sebagai calon terpilih menggantikan dirinya meski raihan suaranya lebih banyak dari Mulan.

Kedua, mau tidak mau patut diduga ada konspirasi antara beberapa pihak dalam kebijakan ini. KPU dan partai bahkan pengadilan memiiki andil yang cukup besar dalam proses ini.

Di pihak pimpinan partai, terkesan berupaya untuk memaksakan diri untuk meloloskan kader tertentu yang tidak memperoleh suara yang cukup untuk duduk di kursi Senayan. Caranya bisa bermacam-macam. Dalam kasus Mulan, bahkan Ervin dikabarkan sampai diberhentikan sebagai anggota partai.

Hal ini seperti membuktikan bahwa kontribusi parpol untuk memperbaiki demokrasi justru semakin dipertanyakan.

Contoh ini adalah bagian yang tampak di depan dimana justru parpol menjadi sumber dari segala yang kontra produktif bagi Demokrasi.

Parpol tidak mempresentasikan sistem politik yang modern, melainkan kerap memainkan sekaligus membangkitkan sistim politik yang transaksional, kuno dan feodalistik. 

Jika ini terus berjalan, Harun Masiku yang lain akan terus bermunculan dengan cara dan kasus yang mungkin berbeda. Bukan itu saja, transaksi yang berujung operasi tangkap tangan bisa saja terus ada memanfaatkan situasi seperti ini.

Selain partai, tentu publik terus bertanya. Di mana posisi KPU? Apakah ada himbauan, apakah ada ketegasan atau KPU karena publik seperti menilai bahwa KPU menutup mata ketika menjadi pion dari permainan yang diatur oleh partai?

Kemarin, KPU melalui Komisionernya yang lain Pramono Tanthowi mengatakan tidak tepat jika dianggap KPU berkomplot dengan partai dalam PAW anggota dewan. Pramono beralasan bahwa pengajuan PAW seharusnya disampaikan pimpinan DPR, bukan partai politik.

Oleh karenanya, kata Pramono, tidak tepat jika ada partai yang mengirimkan surat permintaan PAW ke KPU.

Baik. Jika memang pada akhirnya kasus ini membuka mata tentang standar yang seharusnya dilakukan, dalam penerapannya seharusnya konsisten. Jangan sampai, bicara lain, apa yang dilakukan lain.

Meski begitulah politik. Gara-gara nafsu kekuasaan, kebohongan disulap menjadi cara efektid untuk membenamkan kebenaran. Seperti yang diaktakan Hadar hal ini tentunya akan merusak demokrasi. Seperti yang dikatakan Michiko Kakutani (The Death of Truth,2018) "Tanpa kebenaran, demokrasi akan terus tertatih-tatih".

Referensi : 1 -2 - 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun