Seorang teman yang akan menikah, pagi-pagi sudah marah-marah, padahal kan seharusnya senang. Sebut saja namanya Roni.
"Ini mau undang yang ini salah, undang yang itu katanya nanti tidak enak sama yang ini. Pusing" kata Roni.
Roni dan calon istrinya memang sedang menyusun daftar undangan. Nah cerita itu tidak semudah itu. Soal jatah-jatah undangan itu, Roni pernah bercerita seperti ini.
Acara pernikahan itu adalah acara pengantin wanita. Jadi pihak pengantin wanita akan mendapat jatah yang lebih banyak. Misalnya undangan 500 buah, maka yang wanita mendapat 300 hingga 350 undangan. Sisanya untuk pihak pengantin pria.
Nah, dari jumlah tersebut, baru mulai diberi daftar siapa-siapa yang diundang. Kebiasaannya soal ini juga ada. Pernikahan ini memang pernikahan Roni dan istrinya, tetapi soal undangan ini soal kepentingan kedua keluarga. Pusing kan?
Roni dan calonnya harus menyerahkan daftar itu kepada orang tuanya, om, tante untuk diverifikasi. Sebenarnya ada gunanya juga, supaya jangan ada pendobelan nama bahwa dari kedua pihak mengundang orang yang sama.
Persoalannya tujuannya bukan untuk itu saja. Dalam perjalanannya, faktor kedekatan, kepentingan, suka tidak suka bahkan riwayat hidup turut mempengaruhi.
"Jangan undang ini Om X dan Tante Y, karena ketika pernikahan kakakmu dia tidak datang" kata Mamak Roni sedikit berteriak.
"Undang saja OM Z ini, karena kalau dia datang, besok-besok kamu ada urusan di kantor Dispenduk, kamu dapat dibantu"
"Eh..jangan undang tante yang ini karena dia suka sekali komentar soal makanan di pesta. Nanti ribut"
"Eh..ingat undang Om A ya, dia itu saat bapakmu masih kecil dia yang besarin, cebokin, kamu tidak tahu. Jadi undang ya"