Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anda Pemarah? Mari Belajar Berhitung Sebelum Marah pada Orang Lain

29 Agustus 2019   09:10 Diperbarui: 24 Juni 2021   08:56 1903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah lihat sebuah poster tentang komunikasi saat marah yang kalau dibaca, nampak lucu, tetapi memang ada benarnya.

Begini isi poster tersebut.

Marah dengan seseorang?? Pikir dulu sebelum bicara

Jika dia lebih muda, hitung dulu sampai 10, baru bicara

Jika dia seumuran denganmu, hitung dulu sampai 30, baru bicara

JIka dia lebih tua, hitung dulu sampai 50, baru bicara

Jika dia istri anda, hitung terus, janganbicara

Jika dia suami anda, bicara terus, jangan hitung

Saya akan coba membahas tiga kalimat pertama terlebih dahulu;

Jika dia lebih muda, hitung dulu sampai 10, baru bicara

Jika dia seumuran denganmu, hitung dulu sampai 30, baru bicara

JIka dia lebih tua, hitung dulu sampai 50, baru bicara

Baca juga: Mengapa yang Salah Lebih Pemarah?

Dalam sepekan saya menjadi saksi dari terjadinya dua peristiwa kemarahan, melibatkan teman kantor dengan perbedaan usia. Dari dua peristiwa tersebut, angka-angka di atas memang punya arti.

Jika marah terhadap yang usia lebih muda, apalagi bawahan, kita terkadang tidak berhitung. Main hajar saja, mencaci memaki dan sebagainya. Kemarahan itu begitu hebatnya ketika kita beada "lebih" dari lawan kita.

Jika menghitung sampai 10, kita mempunyai kesempatan minimal untuk memilih kata-kata yang tepat. Seorang atasan kerap, melupakan ini, padahal yang paling diingat orang berbuah dendam adalah bukan esensi kemarahan tetapi cara dan kata yang diucapkan ketika marah. Seorang rekan kantor amat dendam kepada pimpinan karena ini.

Kenapa marah terhadap rekan seumuran harus menghitung lebih lama, hingga 30. Saya menduga ini soal sama-sama emosi. Ketika sama-sama emosi, mendegarkan lebih banyak atau memikirkan lebih banyak apat diperlukan. Berharap dalam 30 hitungan, kemarahan dari masing-masing orang dapat reda.

Jika terjebak dalam situasi marah dengan yang lebih tua, berhitunglah lebih banyak., hingga 50. Ada pesan yang cukup kuat disini, bahwa sebagai yang lebih muda, harus bisa menahan diri, bahkan jika perlu meminta maaf terlebih dahulu.

Kemarin seorang rekan kantor marah kepada rekan yang lain yang lebih tua.

"Dia harus minta maaf" kata teman saya dengan penuh amarah.

"Kenapa bukan kamu?"

"Dia kan yang lebih dulu salah.."

"Saya berpikir, amat sulit berpikir bahwa yang lebih tua minta maaf lebih dahulu, untuk meredakan kemarahn, kita yang muda harus memulai om"

Memang saat mereka berdua saling marah, tidak ada yang mau mengalah. Yang lebih tua merasa yang lebih muda kurang ajar, jika yang muda lebih lama mendengarkan, bisa saja yang senior akhirnya sadar, bahwa dia juga salah dalam kasus ini.

Berkutnya dan paling menarik adalah soal relasi antara suami dan istri.

Baca juga: Persuasif atau Pemarah, Gaya Kepemimpinan Mana yang Lebih Baik?

Jika dia istri anda, hitung terus, janganbicara

Jika dia suami anda, bicara terus, jangan hitung

Jika istri sedang marah, diam saja, jangan bicara, sekalimat pun dan membela diri. 

Saya sudah membuktikan melalui komunikasi dari Orang tua saya, bahwa kalimat ini ada benarnya. Papa tidak akan pernah terpancing ikut marah, sampai mama selesai bicara. Dia akan diam, duduk saja, mendengar.

Ketika saya perhatikan, perempuan baik pacar, istri maupun mama itu hanya ingin didengarkan. Mengeluarkan keluh kesah dalam bentuk kemarahannya. Lalu dia akan capek, dan akhirnya bisa diajak berbaikan. 

Persoalan paling utama adalah sang suami, atau pria tidak memahami itu, sehingga ikut marah, akhirnya cekcok dan masalahnya tidak akan pernah selesai.

Terkadang, sesudah itu saya perhatikan. Sehabis mama marah, udah capek, di depan televisi, mereka sudah kembali berbincang. Memang harus ada yang mengalah terlebih dahulu atau berhitung.

Bagaimana jika seorang istri marah pada suami, bicara terus tak usah berhitung. Ini memang kocak. 

Pria atau suami itu paling pintar buat alasan. Sebelum dia menaklukan hati dengan kata-kata alasan, marahin sampai hanis, curahkan keluh kesah. Inilah the power of emak-emak.

Terkadang, terkadang ya, istri yang tidak punya power "cerewet" ini terlihat lemah. Tetapi tidak selamanya demikian. Cerewet berlebihan nanti membuat suami kabur lho, lalu ada juga istri yang tak perlu cerewet, diam saja, hanya dengan beberapa sinyal, suami juga paham. Sip.

Saya pikir, dari beberapa kalimat yang menarik ini, saya pikir memastikan momen dan waktu untuk marah dan melihat pola kemarahan dari rekan atau istri dan suami juga amat penting.

Misalnya, seorang istri biasanya akan marah ketika pulang kerja dan melihat rumah dalam keadaan berantakan. Nah, suami jika pulang kerja terlebih dahulu, pastikan jangan menciptakan benih-benih kemarahan seperti itu.

Baca juga: Mengurangi Ledakan Emosi Orang Tua Pemarah

Salah satu trik yang diceritakan seorang teman, yang baru menikah 7 tahun seperti ini. Jika istri pulang, sapa dirinya, berikan senyum, berikan pelukan jika bisa, biasanya ampuh, meski rumah masih berantakan istri tak akan langsung marah-marah.

Lalu istri juga demikian, jangan marah saat merasa suami sedang capek. Marahlah saat pagi hari, jangan malam hari. Pagi hari itu, suami katanya lebih taat. Rumusnya agak rumit untuk dijelaskan, tetapi suami istri pasti tahu lah.

Sesama rekan kantor juga  memiliki pola, tinggal pintar membaca. Ada yang langsung marah jika omongannya tidak didengar, ada yang marah jika ketika dia bicara dipotong lawan bicara, macam-macam.

Oleh karena itu, tingkatkan kemampuan untuk memahami rekan, istri, dan suami kita. Jika berhasil, maka relasi niscaya akan semakin baik.

Oh iya, terakhir. Saya kira "menghitung" itu kata lain dari berpikir terlebih dahulu. Kita seringkali terjebak untuk langsung marah, biasakan berpikir, dengan pertanyaan sederhana. Mengapa dan bagaimana, sehingga kata-kata yang keluar juga bukan kata yang merusak tetapi konstruktif.

Selamat marah pada orang lain, tetapi ingat berhitung terlebih dahulu.

Begitu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun