Risma dan Khofifah tentu memiliki alasan untuk itu, bagi seorang Risma Papua bukan saja adalah saudara seIndonesia tetapi Risma menunjukan bahwa dirinya memang dekat dengan masyarakat Papua, sehingga tidak mungkin mengijinkan pengusiran mahasiswa Papua di daerahnya.
"Kalau ada kabar anak Papua diusir di Surabaya, itu tidak betul. Tidak benar kalau ada pengusiran itu," kata Risma usai pelantikan dirinya sebagai Ketua DPP PDI Perjuangan di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Senin (17/8/19).
Risma juga mengatakan sejumlah pegawai di instansinya juga berasal dari Papua. "Kabag Humas saya dari Papua, beberapa camat dan pejabat saya juga dari Papua. Saya juga diangkat warga Papua jadi Mama Papua. Jadi pengusiran itu tidak benar," tegas Risma.
Khofifah juga demikian, dalam wawancara di salah satu stasiun televisi, tokoh Papua, Lenis Kayoga meyebut Khofifah juga sebagai "mama" Papua. Bagi Lenis, Khofifah sering mengunjungi Papua dan tahu kondisi Papua.
***
Pernyataan  dalam bentuk kata maaf mungkin dirasa tidak mengubah hal-hal substansial, namun memilih bersikap untuk meminta maaf adalah langkah terbaik untuk merubah sesuatu menuju hal yang  lebih baik.
Oleh karena itu, dalam bingkai Indonesia, saya amat mengapresiasi apa yang dilakukan para pemimpin kita ini, dan juga sedikit ragu bahwa pemimpin yang lain melakukan hal yang serupa.
Mengapa demikian? Pengotak-kotakan terjadi dan kerap ditunggangi oleh kepentingan politik sesaat, itulah yang memperuncing perbedaan, padahal perbedaan seharusnya ditinggalkan dan persamaan menjadi pandu.
Inilah yang menciptakan dan memperbesar ego di antara masyarakat kita. Â Ketika ego itu semakin besar, maka perselisihan akan kerap terjadi.
Soal ego dan permintaan maaf, saya teringat  akan apa yang pernah dituliskan oleh Fiersa Basari seperti ini.
"Ketika kesetiaan menjadi barang mahal. Ketika kata maaf terlalu sulit untuk diucap. Ego siapa yang sedang kita beri makan?" Ego siapa yang kita beri makan disini, untuk Indonesia, tinggalkan itu semua.