Puji Tuhan, meski sempat terpecah konsentrasi, sari khotbah dari pendeta gereja tradisional tempat saya berjemaat masih saya ingat.
Kisahnya terambil dari Kitab Bilangan, tentang Yosua dan seorang pengintai yang sedang mengintai negeri Kanaan. Dari kedua belas pengintai, Yosua dan temannya itu yang memberikan berita positif bahwa negeri itu akan diberikan Tuhan. Kesepuluh pengintai yang lain hanya memberikan ketakutan dan pesimisme.
Pesan khotbah ini mirip sekali dengan pesan Jokowi di hari Kemerdekaan, kita harus terus menebar optimisme, jauhkan pesimisme atau pesan yang dapat melemahkan dan memecah belah.Â
Sampai di poin pesan khotbah, jika mau jujur saya memang sedikit terpaksa untuk serius mendengarnya, pendeta emeritus (pensiunan) perempuan yang membawakan khotbah ini wajahnya mirip dengan ibu saya, jadi saya seperti mendengarkan petuah orang tua, makanya saya serius.
Ibu saya memang turunan dari pendeta di zaman Belanda, duduk harus rapi di meja makan, sama juga serapai duduk di gereja. Suara ibu saya sampai sekarang masih terdengar menggelegar hingga usianya hampir mencapai 80 tahun sekarang, padahal Belanda sudah jauh dan Indonesia sudah merdeka.
Setelah selesai bergereja, langkah saya sempat diperlambat dengan antrian anak Sekolah Minggu yang hendak masuk ke ruangan kebaktian. Puluhan anak-anak kecil ini berbusana adat dengan kain motif indah dari berbagai suku di NTT.
Nampaknya, hari ini Sekolah Minggu bertemakan kemerdekaan, pipi beberapa anak Sekolah Minggu bahkan ditempeli stiker merah putih, untuk menyambut anak-anak tersebut, sang organis memperdengarkan lagu perjuangan, nada yang sedang dimainkan lagu 17 Agustus.
Gereja saya yang tradisional itu memang begitulah. Meski terlihat lamban dengan musik mendayu-dayu dan penuh khidmat, tetapi soal-soal yang seremonial begini, tak mau kalah, semangat nasionalisme harus dimiliki oleh jemaat gereja dari orang dewasa sampai anak-anak.
Saya sempat tertegun, ingatan saya bergerak ke arah tahun 45, tapi tiba-tiba, agenda utama hari ini, membuat saya kembali mendarat mulus ke daratan. Hari ini ada Gulai Aba Hasan.
Tak perlu lama, berganti pakaian lebih santai, saya sudah dalam perjalanan menuju rumah Aba Hasan.
Oh iya, perkenalkan Aba Hasan, panggilan Aba memang sering kami pakai kepada rekan muslim yang sudah lebih tua. Di kantor, di papan nama Aba bertuliskan Hasan S, terkadang kami memplesetkan S itu dengan Soeharto, terkadang juga Somad, Aba memang katanya senang mendengar khotbah Ustaz Somad, jadi dia lebih okay dipanggil Hasan Somad daripada Soeharto, meski aslinya adalah Hasan Solaiman.