"Ini hampir seperti sebuah cerita dongeng. Saya seperti hidup dalam mimpi, menjalani apa yang telah saya kerjakan" Stefanos Tsitsipas.
Seusai pertandingan melawan Roger Federer, Tsitsipas memegang kepalanya, matanya membelalak, hampir tidak percaya dapat mengalahkan idolanya tersebut. Dalam pertandingan yang berlangsung ketat, Tsitsipas menang atas idolanya, 6-7, 7-6, 7-5, 7-6.
"Saya sudah menonton dia sejak saya 6 tahun dan bermain melawannya adalah impian. Bisa menang adalah hal yang tak terlukiskan," ucap Stefanos Tsitsipas seusai pertandingan.
Saat itu mungkin ada yang mengira itu sebuah kebetulan belaka. Federer memang melakukan banyak unforced error saat itu, dua kali lipat dari Tsitsipas. Pria berkharisma asal Swiss itu dianggap tidak tampil prima.
Akan tetapi ketika Tsitsipas melangkah ke babak semifinal dengan mengalahkan petenis asal Spanyol, Roberto Bautista Agut, 7-5 4-6 6-4 7-6 (7-2) dalam pertarungan tiga jam 15 menit, mata dunia mulai lebih jelas terbeliak. Sudah lahir calon bintang baru tenis dunia setelah era Federer, Nadal dan Djokovic.
Apa yang dikatakan Tsitsipas benar adanya, ini seperti sebuah cerita fiksi jika menengok latar belakang seorang Tsitsipas.
Tsitsipas  lahir di Athena, Yunani, pada 12 Agustus 1998. Negara asal para Dewa ini  tidak pernah dikenal melahirkan petenis berkelas dunia, bahkan belum pernah ada petenis yang menjuarai turnamen sekelas ATP dari Yunani, sebelum Tsitsipas.
Pada Oktober 2018, Tsitsipas mulai mencetak sejarah dengan menjadi petenis putra Yunani pertama yang memenangkan gelar ATP. Di final ATP Stocholm, Tsitsipas  menang 6-4 dan 6-4 atas Ernest Gulbis di laga final.
"Saya sangat bahagia karena menjadi petenis Yunani pertama yang meraih gelar ATP. Saya berharap akan ada lebih banyak petenis Yunani yang bisa meraih gelar juara," ujar Tsitsipas saat itu.
Setelah itu, Tsitsipas terus mencatat berbagai torehan sejarah. Di medio 2018, Tsitsipas menjadi petenis Yunani pertama yang menembus rangking 100 ATP.