Laga imbang antara Thailand melawan tuan rumah Filipina yang berakhir dengan skor 1-1, membuat harapan bagi timnas Indonesia untuk lolos ke semifinal Piala AFF 2018 Sirna. Nilai kedua negara tersebut yang mencapai poin 7 sudah tidak bisa dikejar oleh Indonesia yang maksimal hanya akan mendapatkan poin enam, itupun jika menang melawan Filipina di pertandingan terakhir.
Format baru Piala AFF 2018 terasa kejam dalam situasi ini. Meskipun menerapkan sistim tandang kandang , jumlah pertandingan yang dimainkan tetaplah sama. Artinya, setiap tim tetap memainkan empat pertandingan dengan skema bergantian tandang dan kandang. Indonesia bermain tandang melawan Singapura, kandang melawan Timor Leste, tandang Thailand dan akan kandang melawan Filipina di pertandingan terakhir.
Jika harus mengulang, saya akan memilih melawan Singapura dan Thailand sebagai tuan rumah. Akan tetapi saya juga sadar bahwa rasanya memalukan jika harus menyalahkan format turnamen, sebenarnya kita sendirilah yang tidak mampu menentukan nasib kita sendiri dan harus mengharap belas kasihan tim lain di sisa pertandingan grup.
Dua kekalahan tandang yang menyakitkan  sudah cukup bagi timnas Indonesia untuk mengubur impian mereka paling tidak menyamai prestasi di tahun 2016. Di Piala AFF 2016, timnas Indonesia yang dilatih oleh Alfred Riedl dan dimotori oleh Boaz Salosssa berhasil melangkah hingga babak final sebelum ditumbangkan Thailand dengan skor agregat 2-3.
Miris sekali karena saat ini, Â timnas Indonesia malah harus berjuang agar jangan sampai menjadi juru kunci di fase grup, bersaing dengan Timor Leste. Amat memalukan.
Lalu apa yang dapat dilakukan sekarang? Apa yang dapat dipelajari dari kegagalan ini? Tentu saja yang diharapkan adalah perubahan besar-besaran terhadap  tim yang ada sekarang. Paling tidak ada 2 (dua) hal utama yang perlu dilakukan.
Pertama, melakukan evaluasi secara menyeluruh. Kegagalan ini menampakan wajah sebenarnya dari situasi persepakbolaan kita. Kita seperti membangun istana pasir yang terlihat menarik untuk dipandang tetapi amat ringkih ketika menghadapi hembusan angin yang kecil.
Ketika ditinggalkan oleh Luis Milla, semuanya mulai terlihat aslinya. Mulai dari kenyataan tentang sikap tidak profesional PSSI yang ternyata tidak mampu membayar gaji Milla secara teratur dan berujung kekecewaan dan pengunduran diri  pelatih asal Spanyol tersebut. Â
Hal yang berakibat PSSI akhirnya harus mengambil sebuah pilihan yang terlihat "terpaksa" ketika memilih Bima Sakti sebagai pelatih timnas untuk mengarungi ajang Piala AFF 2018.
Evaluasi menyeluruh ini juga saya harapkan tidak membuat PSSI menjadi takut melakukan auto-kritik, PSSI harus legowo untuk menerima jika titik persoalannya juga ada di dalam manajemen mereka.
 Jika tidak mampu, seharusnya pengurus mau berani untuk mundur.  Namun jika masih merasa mampu dan tak tahu malu,  maka harus segera memperlihatkan perubahan yang signifikan. Kita membutuhkan perubahan, bukan sekedar retorika. Retorika ang berujung minim prestasi.