Anda bersama saya di tulisan ini jika setuju Sepak bola itu adalah kegembiraan. Jika ada kebencian yang tak bisa dikontrol di sana, kita sedang munafik dan menipu diri sendiri bahwa kita sebenarnya adalah orang-orang biadab yang berselimutkan penikmat bola atau suporter.
Kita tidak sendirian jika sudah berada di titik ini. Romo Sindhunata mengutarakan atau menyuarakan hal yang sama. Sindhunata mengatakan salah satu ciri khas dari kekuatan kegembiraan sepak bola itu adalah dapat menikmati sebuah hal yang sama meskipun berbeda.
Sindhunata lebih lanjut mengatakan, dalam hal sepak bola, si kaya atau si miskin sama-sama mengalami kenikmatan. Hiburan dan kenikmatan bola tidak hanya jadi onopoli mereka yang kaya. Yang miskin pun boleh bersenang-senang seperti yang kaya.
Sepak bola mengikat manusia dalam persatuan meskipun berbeda. Sepak bola membuat kita bisa menangis dan tertawa di sebuah tempat yang sama, dan hebatnya sesudah itu kita saling menguatkan satu sama lain, berpelukan dan kembali bergembira bersama.
Apa yang dikatakan Sindhunata itu membuat saya sedikit berefleksi. Bagi saya, Sepak bola membuat kita bisa lupa untuk sesaat, tetapi kekuatan sesaat itu seperti sebuah refleksi yang akhirnya menumbuhkan dan menguatkan humanisme kita. Rasa kemanusiaan yang membuat kita semakin mencintai dan mengasihi sesama manusia melebihi diri kita sendiri, bukan malah membenci.
Penyair, Joko Pinurbo atau Jokpin dalam sebuah tulisan juga mengutarakan hal senada. Jokpin mengatakan bahwa sepak bola adalah simbol dari rasa riang. Kegembiraan. Jokpin mengatakan keriangan itu seperti  Lionel Messi bermain, seperti anak-anak yang tak mau kehilangan bolanya. Keriangan sepak bola itu seperti anak-anak yang  menjalani hidup tanpa kuatir tanpa rasa takut.
Ijinkan saya untuk menambahkan apa yang dikumandangkan Jokpin tentang sepak bola  ini melalui sebuah penggalan sajaknya. "Telah kubredel ketakutan  dan kegemetaranmu. Kini bisa kaurayakan kesepian dan kesendirianmu dengan lebih meriah."
Sampai di titik ini saya mengajak kita bersama mengangkat hati kita  untuk bersama Haringga Sirila. Lelaki muda penggembira sepak bola sejati  yang tanpa rasa kuatir dan takut pergi ke Bandung, ingin masuk ke stadion Gelora Bandung Lautan Api untuk mendukung klub kesayangannya, Persija.
Sepak bola tak membuat seorang  Haringga harus takut ataupun kuatir. Pikirannya mungkin sudah dipayungi keteduhan hati berpikir bahwa kelompok orang berjubah berbeda dengan dirinya itu hanyalah bagian dari kegembiraan yang hendak dijunjungnya di minggu sore itu.
Sayangnya, Haringga keliru. Dunia itu tak seindah dugaannya sore itu.  Dunia yang sibuk itu  ini masih menyisakan para biadab yang lebih senang melihat dirinya tanpa jubah kegembiraan itu. Mereka lebih senang menelanjangi dari pada menyelimuti kegembiraan yang menjadi pandu seorang suporter sejati.
Kaos Haringga dipaksa lepas, Â kulit dengan keluguan sepak bolanya harus bercampur darah ketika tendangan , pukulan dan pentungan dari para biadab itu yang seperti tak pernah selesai ingin melukainya. Setiap teriakan Haringga seperti membuat titik-titik gembira itu terbang menjauh dari tubuhnya. Sedangkan kelompok biadab itu, semakin diliputi kebencian.