Semua hal ini membuat distorsi di dalam pikiran kita berwujud emosi yang memblokir pengetahuan tertentu. Misalnya, menghalangi pemikiran rasional terhadap orang yang kita marah.
Menariknya, bagi beberapa orang, hal ini sudah menjadi sebuah siklus. Siklus ini akan mudah diatasi jika dipahami oleh rekan kerja dan terlebih penting dapat dipahami oleh diri kita sendiri.
Seperti cerita si Anto di atas, ungkapan "Biasa, marah-marah kalau capek" mugkin adalah contoh pemahaman akan siklus yang dialami, tetapi persoalannya adalah kita mungkin tidak bisa terus menerus berharap rekan kerja memahami kita.
Memahami kapan kita akan lelah dan marah akan penting bagi kita untuk dapat mencarikan penangkalnya. Jika kita butuh istirahat, kita perlu ijin istirahat sebelum kemarahan kita menjadi-jadi.
Cerita sisi lain yang menarik adalah ada juga yang memilih untuk lekas makan jika sedang marah, ini mungkin berarti lapar ternyata dapat membuat orang marah--padahal seharusnya lemas kan?
Ada lagi yang lebih ekstrim yakni ketika sedang marah memilih untuk mengganti sepatu dan pakaiannya. Untuk apa? Lari. Olahraga lari katanya akan menjadi obat bagi kemarahan. Tetapi kadang-kadang itu bukan pereda marah tetapi hanya sekedar penunda. Setelah lari, balik lagi kantor, marah-marah lagi. Pusing.
Lalu bagaimana cara Kompasianer agar tidak lekas marah-marah di kantor?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H