Kedua, what is a reporting plan? Di bagian kedua ini Service menerangkan bahwa jurnalis investigasi harus memiliki tiga hal yaitu orders of interview, evidence gathering/proof dan security: for yourself and sources.
Jurnalis mesti memiliki urutan wawancara dengan daftar pertanyaan yang lengkap untuk mendapatkan bukti dan memastikan saat melakukan itu keselamatan sang jurnalis dan juga narasumber mesti diperhatikan dan diutamakan.
"For this step you should learning by doing," ujar Service.
Ketiga, creating reporting plan. Di sesi ketiga ini, Service membagi peserta menjadi tiga kelompok dengan tujuan masing-masing grup mencoba mendiskusikan tentang isu apa yang bisa diangkat sebagai rencana investigasi.
Ada 6 pertanyaan pembantu untuk merencanakan sebuah rencana investigasi. Pertama, What's the story? Kedua, Who might fund it/Why? Ketiga, Who to approach when? Keempat, How will you gather evidence? What kinds? Kelima, How will you keep yourself and sources safe? dan terakhir, What are the questions you'll ask and what do you hope to uncover?
Menarik karena dalam mendiskusikan isu, ketiga grup mengambil 3 isu yang berbeda. Ada yang ingin mengungkap tentang isu penyelundupan drugs di daerah perbatasan antara Timor Leste dan Indonesia, tentang kasus perbudakan TKI asal NTT dan terakhir tentang indikasi mafia para imigran yang "terjebak" di Timor, NTT.
Meskipun terasa singkat workshop bersama Shannon Service ini sangat bermanfaat. Dibantu oleh Esti Durahsanti dari pihak Konsulat US Surabaya sebagai penerjemah, peraih penghargaan investigasi Edward R. Murrow dan The Knight Award untuk laporan sains dan lingkungan terbaik ini mampu mentransfer ilmunya dengan presentasi yang mudah dicerna dan aplikatif.
Shannon Service juga berulang kali menjelaskan bahwa menjadi seorang jurnalis investigasi bukan pekerjaan yang mudah. Pekerjaan ini bisa membuat jurnalis harus berhadapan dengan sistem yang korup, sistem yang kejam dan mungkin tidak berperikemanusiaan. Jurnalis membutuhkan lebih dari sekedar pengetahuan atau teori untuk mampu melakukan sebuah investigasi.
Di rehat sesi, Esti Durahsanti secara tersirat menjawab alasan bagaimana Service mampu menjadi jurnalis investigator yang hebat.
Esti bercerita Shannon Service pernah ditanya di sebuah workshop tentang pengalaman yang paling berkesan baginya saat membuat investigasi perbudakan nelayan di Thailand. Shannon terdiam cukup lama dan tanpa sadar meneteskan air mata.
"Kisah tentang seorang korban perbudakan yang ditolong oleh Shannon yang bersikeras ingin bertemu dengan orang yang menjual dirinya hanya untuk memberi ampunan tanda 'kebebasan' paripurna dirinya. Hal itu sungguh menggugah Shannon," cerita Esti.