Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Terpesona Sawah Jaring Laba-laba Desa Cancar Manggarai

24 April 2018   18:18 Diperbarui: 25 April 2018   09:26 3116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini orang dari Pariwisata Provinsi. Mau survei lokasi" kata Kaka Bili pada mama tua penjaga pintu masuk Cancar. Kami memang sudah sampai ke desa Cancar. Untuk sampai ke desa ini kita membutuhkan waktu sekitar 45 menit dari Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai. Kabupaten yang ada di Pulau Flores, Provinsi NTT.

Saya langsung menarik Kaka Bili, teman sekaligus guide saya selama di Ruteng. "Ah..kenapa bilang begitu, saya kan bukan dari Pariwisata?" kata saya. "Biar jangan dikasih bayar mahal" ujar Bili berbisik. Waduh, tepuk jidat. Mama tua itu hanya tersenyum. Kami dipersilahkan masuk. Bayar? Iyalah, mama tua tidak peduli, mau darimana kek, per orang harus membayar 20 ribu rupiah.

Satu per satu anak tangga mulai kami jejaki mungkin ada puluhan anak tangga untuk mencapai puncak Weol, tempat di mana kami akan menikmati pemandangan yang dicari banyak turis ketika datang ke Desa ini. Ada apa sebenarnya disini? Spiderweb Rice Fields atau Sawah Sarang Laba-Laba yang terkenal itu.  

Dari puncak Weol terlihat sistem pambagian sawah yang terlihat unik ini. Orang Manggarai menyebutnya dengan Lingko. Setiap bagian yang telah dibagi-bagi disebut dengan lodok. Di tengah dari pembagian ini ada sebuah kayu yang digunakan sebagai pusat dengan kayu sebagai poros yang dipasang oleh para tetua adat.

Gendang Lengko I Dokumentasi pribadi
Gendang Lengko I Dokumentasi pribadi
Bagi masyarakat Manggarai, tanah adat termasuk sawah dianggap dimiliki secara bersama untuk kepentingan bersama. Filosofi ini membuat sawah bukan hanya dijadikan sebagai tempat bertani tetapi bagian penting sendi kehidupan yang menyentuh banyak hal dan mengakarkan banyak hal.

Oleh karena sarat akan filosofi itu Kaka Bili dan beberapa pemuda Manggarai yang menemani saya dengan berapi-api berusaha menjelaskan tentang arti dari model persawahan yang berbentuk jaring laba-laba. Meski terlihat rumit untuk dipelajari, namun mereka telrihat kagum akan tradisi turun temurun kebanggaan penduduk Manggarai ini.

Bagi saya, kekayaan filosofi ini melengkapi keindahan alam yang terlihat dari puncak Weol ini. Pandangan mata akan terpesona dengan keunikan bentuk sawah ini. Sesekali kami bercanda tentang bagian-bagian sawah yang menjadi kepunyaan dari Kaka Billi. Dan berkali-kali pula, Kaka Bili mengatakan bahwa ini adalah milik bersama. "Ini kepunyaan adat, milik bersama untuk kepentingan bersama" ujar Kaka Bili.

Jika spider web rice field sudah menghijau I Nationalgeographic
Jika spider web rice field sudah menghijau I Nationalgeographic
Di Manggarai, adat itu masih terkesan kental dan filosofi saling membantu memang nampa jelas di dalamnya. Saya pernah mengikuti acara adat seorang pemuda yang akan berangkat sekolah ke luar daerah dan keluarga membuat acara adat untuk saling membantu. Sungguh indah.

Di lain sisi, ada juga acara dimana sekolah membuat acara bertajuk "pesta sekolah" dimana, masyarakat dengan sukarela akan memberikan uang untuk membantu anak-anak yang bersekolah di tempat itu. Semua diberikan dengan sukarela dan dengan penuh sukacita.

Ah, mungkin saja suatu saat, tempat-tempat seperti ini akan tergusur dan tergantikan. Pergerakan zaman akan bergerak cepat, dan mungkin sulit untuk dikendalikan. Saya berpikir di saat itu, sudah muncul bangunan-bangunan yang menggantikan tempat-tempat seperti ini.

Pasti akan terjadi kehilangan besar bagi generasi selanjutnya. Bukan kehilangan area persawahan yang indah dipandang ini, tetapi kehilangan makna dalam dari filosofi yang ada di dalamnya.

Apakah itu akan terjadi? "Ah, anak-anak sekarang lebih senang bermain gadget daripada dijelaskan soal acara adat" cerita kaka Willy ketika kami mulai kembali menuruni tangga. "Oh begitu" jawab saya singkat.

Kami kembali bertemu mama tua sang penjaga disitu. Tempat ini memang belum dikelola secara serius oleh pemerintah mungkin karena ini adalah lahan milik masyarakat. Mereka yang mengelolanya dengan terbatas.

Bersama Kaka Billi Cs I Dokumentasi pribadi
Bersama Kaka Billi Cs I Dokumentasi pribadi
"Makasih mama, saya bukan dari Pariwisata" ngaku saya sebelum naik di sepeda motor dengan tersenyum. " Mama su (Sudah) tahu, banyak yang sering mau masuk gratis dengan cara begitu" balas mama tua itu sambil tersenyum. Haha. Kena deh.

Kenangan lucu yang tertinggal di Sawah Jaring Laba-laba Desa Cancar, Kabupaten Manggarai. Dalam hati saya berkata bahwa suatu saat saya akan kembali ke tempat ini, terutama ketika semua sawah di jaring laba-laba sudah menghijau, pasti akan lebih indah. 

*mama tua : panggilan untuk ibu-ibu yang sudah terlihat tua, biasanya rambutnya sudah beruban

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun