Ketika berita tentang Presiden Presiden Joko Widodo yang meminta perbankan untuk mengeluarkan produk finansial baru berupa kredit pendidikan atau student loan mengemuka, berbagai pertanyaan tentang ide ini mulai muncul.
Siapa penerima program student loan ini?. Apakah program ini akan bernasib sama dengan pinjaman-pinjaman lainnya yang susah dikontrol? Lalu apa sanksinya, jika tidak mampu mengembalikan dana tersebut?, dan banyak pertanyaan lain yang tentu sudah disiapkan jawabannya oleh berbagai pakar, terutama dari Perbankan.
Saya mencoba melihat dari sisi lain, ketika program student loan ini sempat menjadi topik diskusi ketika saat saya terlibat dalam program studi banding  di salah satu Balai Latihan Kerja (BLK) di Australia, TAFE, khususnya di TAFE Queensland beberapa waktu lalu.
Pertama, peserta latih boleh belum membayar biaya pelatihan dalam jumlah tertentu. Kedua, membayar sejumlah biaya pendidikan di depan dan boleh membayar biaya sisanya sesudah pelatihan dalam jangka waktu yang ditentukan bersama.
Sebagai informasi, BLK-BLK di Indonesia baik milik pusat apalagi daerah belum mengenal sistim seperti ini karena semua biaya pelatihan masih disupport pemerintah, bahkan diberikan fasilitas dan biaya transport.
Saya lalu berdiskusi singkat dengan SM, salah satu instruktur di TAFE Queensland.
A : Arnold
SM : Instruktur TAFE
A : "Apa perbedaan yang terlihat di siswa ketika TAFE memilih untuk menggunakan Student Loan, daripada disupport sepenuhnya oleh pemerintah" tanya saya membuka diskusi kami soal student loan.
SMÂ :" Banyak hal, namun sebagai instruktur, saya lebih melihat dari segi komitmen. Peserta latih, akan lebih serius mengikuti pelatihan, ketika ikut membayar pelatihan itu. Jikalau gratis, seringkali peserta pelatihan menjadi tidak disiplin dan tidak berkomitmen".