Ketika baru pertama kali bertemu dan melakukan cium hidung maka cium hidung dapat membuat rasa kekeluargaan antara satu dengan yang lainnya sekejap muncul meski baru pertama kali bersua. Karena sudah menjadi tradisi, dalam berbagai kesempatan cium idung ini sering sekali dilakukan, terutama di acara dukacita ataupun nikahan.
Persoalannya banyak tamu atau orang luar NTT yang merasa "risih" dengan tradisi ini. Apalagi ketika melihat bahwa mencium hidung ini juga dilakukan oleh orang yang berbeda jenis kelamin. Namun sekali lagi ini adalaj tanda persaudaraan dan juga tanda penghormatan.
Suatu kali, seorang saudara yang lama tinggal di luar kota, pertama kali membawa istri yang bukan orang NTT ke rumah. "Ayo..cium.." kata suaminya, padahal istrinya hanya hendak bersalam tangan saja. Ketika akan memberi pipi kiri dan kanan, lalu diajar lagi oleh suaminya. "Cium hidung.." kata suaminya lagi.
Meski terlihat bingung, tapi akhirnya satu persatu dari kami dicium hidung. "Ah...sudah bisaaa.." teriak beberapa orang senang. Respons ini dikarenakan karena jika seseorang sudah bisa cium hidung, maka sudah "sah" menjadi bagian dari keluarga.
Lebih jauh kami menganggapnya sebagai tanda hormat. Di NTT, di zaman millenial, banyak anak-anak muda perlahan-lahan mulai melupakan tradisi ini. Sebenarnya ketakutan akan hilangnya rasa hormat, rasa kekeluargaan itu lebih besar daripada simbol-simbol seperti ini, namun apabila simbol-simbol ini membantu rasa hormat dan hal baik lainnya dapat terpelihara, maka harus dijaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H