Di Pantai Walakiri, Waingapu, Sumba Timur, tenggelamnya matahari disambut dengan bahagia. Dalam lelahnya matahari jelang beristirahat, masih sempat dia memantulkan cahaya keemasan yang seperti digenggam laut, tanda persahabatan. Indah.
Motor Kaka Ampi mulai lagi melambat di ruas jalan raya menuju arah Melolo. "Saya lupa-lupa  ingat jalan masuknya..." kata Kaka Ampi. "Nah..itu dia" tunjuk saya ketika melihat papan nama kecil, bertuliskan Pantai Walakiri. Masih butuh 1,5 Km lagi dan motor kami mulai menyusuri jalan dengan aspal butas yang masih sederhana, tentu dengan wajah gembira.
Perjalanan dengan jarak sekitar 25 Km dengan 30 menit waktu tempuh itu nyaris tak terasa ketika ban motor kami menemukan tempat untuk berhenti. Jelang sore itu, birunya laut, pantai dengan gugusan pasir putih panjang dengan puluhan pohon kelapa dan cemara yang berjejer rapi di bibir pantai seakan tersenyum menyambut kami.
Selain pantai yang indah, memang ada kawasan kecil hutan mangrove juga disana. Mangrovenya ada yang sudah berkumpul seperti hutan tetapi ada juga beberapa pohon mangrove yang terpisah dengan kumpulan mangrove tadi.
Jelang senja, semakin banyak wisatawan yang datang. Selain menjejakan kaki di pasir putih, mayoritas dari mereka memilih untuk lebih dekat dengan mangrove tersebut. Sunset sedikit lagi datang, dan mereka seperti juga hendak begoyang bersama mangrove-mangrove disini. Ada yang sudah bersiap bergaya, dan ada yang sedang asyik dengan kameranya, termasuk kami.
Sunset akhirnya datang. Meski bola merah raksasa itu tidak terlihat penuh karena diganggu sedikit sapuan awan, namun mangrove dan kami tetap antusias menyambutnya. Cahaya keemasannya, berjejak pelan sampai ke tempat kami berada.
"Ayo berdansa..." ujar seorang bapak tua kepada pasangannya. Kakek dan nenek. Mereka memang berdansa, dan tak peduli akan kehadiran kami. Beberapa temannya, lalu merekam dan memngambil foto untuk apa yang mereka lakukan. Mereka turis, dari dialeknya, mereka orang Bandung, Jawa Barat.