Pembaruan kontrak Jose Mourinho oleh Manchester United (MU) hingga 2019-2020 menyisakan sejuta tanya meskipun  Mourinho sendiri mengatakan pembaruan kontrak itu adalah hal yang wajar. "Ini adalah kontrak spesial untuk saya karena saya sudah terbiasa menandatangani kontrak baru dengan klub setelah terlebih dahulu meraih prestasi besar," ujar Mourinho, khas arogansi The Special One.
Prestasi besar apa yang dimaksud oleh Mourinho? Gelar Europa League yang mudah dilupakan? Ada yang lain? Hampir tidak ada. Bahkan inkonsistensi di Liga Premier Inggris (EPL) sehingga MU kalah bersaing dengan klub sekota, Manchester City sering dianggap akan abadi jikalau MU masih bersama Mourinho. Mourinho tidak lebih cerdas daripada Pep Guardiola. Mou selalu kalah.
Lalu mengapa Chief Eksekutif MU, Ed Woodward percaya diri terus mempertahankan Mourinho dengan memperbaharui kontraknya?
Ada beberapa alasan yang dapat dimunculkan di permukaan. Pertama, MU terlanjur khawatir Mourinho akan pindah ke PSG, jikalau kontraknya tidak diperpanjang. Meskipun sekarang, MU di bawah Mourinho belum bisa bersaing dengan City, namun Mourinho tetaplah pilihan terbaik dari yang terburuk.
Calon-calon pengganti Mourinho, selain dianggap belum siap melatih klub dengan sejarah besar seperti MU juga belum menunjukkan kemampuan terbaik mereka. Misalnya, Jurgen Klopp, pelatih Liverpool. Klopp yang sebelumnya terus digoda Woodward, sekarang masih belum menemukan formula terbaik bagi Liverpool yang juga tampil tidak konsisten. Terlalu riskan meminang Klopp yang masih tanpa prestasi.
Pilihan yang masih mungkin adalah merekrut Mauricio Pocchetino, pelatih Tottenham Hotspurs dan juga Massimiliano Allegri, pelatih Juventus. Namun, Pocchetino santer lebih senang menyeberang ke Real Madrid jika harus berpindah klub. Sedangkan Allegri, kelihatannya masih mempunyai mimpi panjang dengan Juventus.
Memperlakukan Mou dengan tak ramah di tengah ketiadaan pilihan ini dipercaya akan serta merta mengundang PSG untuk sekejap membujuk Mou ke Paris. Apalagi, selain masih kurang puas dengan Unay Emery, PSG dikenal sebagai surganya uang, bagi pelatih berkualitas dan mata duitan seperti Mou, maka rayuan PSG, dapat diibaratkan rayuan maut yang akan sulit ditolak.
Sisi lain yang dapat dilihat yaitu kepergian Mourinho keluar dari tanah Inggris tak dipungkiri  akan sangat merugikan EPL dari sisi komersialisasi. Bagaimana tidak, rivalitas Mou di MU dan Pep di City, sangat mudah dijual media bukan saja melalui adu taktik di lapangan tetapi juga perang urat syaraf antara keduanya. Jualan menarik yang tentu sangat dirindukan La Liga yang kehilangan aroma persaingan ini dan sekarang dituai EPL.
Kedua, Mou adalah magnet yang mampu menghadirkan pemain bintang plus uang bagi klub. Sudah bertahun-tahun fans Red Devils sangat membenci keluarga Glazer yang mengakuisisi MU sejak tahun 2005. Meski Malcom Glazer mampu menghadirkan berbagai gelar bagi MU sebelum tutup usia pada tahun 2014, namun pola pikir Glazer adalah sisi gelap yang tak disukai oleh penggemar MU.
Glazer dipercaya membeli MU hanya untuk menutup utang-utangnya. Glazer bukan seperti Abramovich yang mencintai dan juga memuja sepak bola. Bagi Glazer, keuntungan klub berupa pundi-pundi uang yang semakin banyak lebih penting daripada prestasi, tak lebih tak kurang.
Sepeninggal Glazer yang sempat  ditangisi fans dengan spanduk "See you in Hell", kendali Ed Woodward semakin kuat. Sayangnya bagi fans, Woodward adalah titisan terbaik Glazers jika tidak mau dikatakan cara berpikirnya serupa dengan Glazers. Bagi Woodward, MU secara finansial harus selalu untung meski tanpa prestasi, dan salah satu rumus mendatangkan keuntungan adalah keberhasilan mendatangkan  pemain bintang ke dalam skuad.  Pemain bintang akan mendongkrak pemasukan klub secara signifikan bukan saja dari tiket penonton yang diyakini akan naik, tetapi juga penjualan berbagai merchandise, seperti kaos pemain.