Sepeda motor kami melaju ke arah Borong, Manggarai Timur ketika hari minggu masih pagi. Kami dari kota Ruteng,  terbersit sedikit cahaya mentari saat kami mulai meninggalkan kota dingin itu. "Kita akan pergi ke kota hangat pak (Borong)" kata Kaka Frids tersenyum. Kaka Frids,  begitu saya memanggil pria  yang mau berbaik hati mengantarkan saya ke Borong.
Sepanjang perjalanan, Kaka Frids tak henti bercerita. Mulai dari cerita tentang Gunung Pocoranaka, gunung tertinggi di Manggarai dan juga tentang beberapa budaya di Manggarai. Saya antusias seraya kagum meski tak heran, karena lelaki berusia medio 30-an ini adalah seorang guru sosial budaya di salah satu sekolah di Ruteng.
"Sudah di Ranamese pak, ayo berhenti, sedikit beristirahat" kata Kaka Frids sesudah 30 menit kami meninggalkan Ruteng. Kami pun berhenti di sebuah titik yang disarankan oleh Kaka Frids. Sebuah kawasan yang dingin dan terlindungi  dengan deretan pohon pinus besar yang seperti bergandengan erat.  "Bisa lihat danau Ranamese dari sini Pak" kata Kaka Frids.
"Bisa ke sana kaka Frids?" tanya saya, tak sabar untuk lebih mendekat ke lokasi. "Bisa pak, tapi harus masuk ke kawasan Kehutanan" jawab kaka Frids. Tak perlu waktu lama, kami akhirnya sudah berada dalam kawasan yang dimaksudkan oleh kaka Frids.  Secara teritori, Danau Ranamese ini masuk dalam wilayah  Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng  yang dikelola langsung oleh Kementerian Kehutanan.
Masih sepi meski ada penjaga sekaligus pemungut karcis masuk di pintu gerbang. Setelah itu, kami dibiarkan sang penjaga untuk menjelajahi tempat itu. "Ke kanan kalau mau lewat dan lihat air terjun, dan ke kiri kalau mau langsung ke danau" kata sang penjaga, yang cepat berlalu sesudah kaka Frids memberi isyarat bahwa dia mengerti jalur yang dimaksudkan.
"Kaka Frids pernah ke sini?" tanya saya beberapa saat setelah kami mulai menapak  jalan kecil diantara pepohonan besar. "Belum pernah Pak Arnold" jawab kaka Frids sambil tersenyum.  Saya pun langsung membalas senyumannya dengan senyuman kecil meski  sedikit menggelengkan kepala tanda tak percaya.
"Pak Arnold, mohon ijin, kita membaca mantra dulu" kata kaka Frids tiba-tiba. Kaka Frids sontak mengeluarkan handphonenya dari saku celananya. "Pak Arnold diam saja, saya akan baca mantra untuk wilayah pepohonan, meski tadi sempat terlupakan, namun tidaklah terlambat" lanjut kaka Frids.
Suara kaka Frids terdengar sayup-sayup membaca mantra dengan bahasa Manggarai. "Sudah Pak Arnold" kata kaka Frids sembari mengajak saya melanjutkan perjalanan. Kaka Frids lalu bercerita bahwa hal ini disarankan oleh ayahnya ketika hendak memasuki wilayah yang dipenuhi dengan cerita budaya mistis seperti Ranamese.